Sabtu, 30 Mei 2015

Teks Cerpen

Tiga Puluh Menit

(Karya : Baby Yolinda)


Mungkin kamu berpikir mengubah dirimu adalah suatu hal yang mudah, ya, semudah membalikan telapak tangan. Mungkin kamu berpikir itu adalah suatu hal yang mudah tetapi pada kenyataannya, tidak. Mengubah diri menjadi orang lain, seseorang yang masuk akal dan seseorang yang di “terima” oleh orang lain. Apa kamu mengganti cara berpakaian, gaya rambut, atau bahkan riasan wajahmu? Lakukanlah hal tersebut. Potong ponimu, belilah tas baru, ubah caramu berbicara. Mereka akan tetap melihatmu layaknya kamu sebelumnya, melihatmu sebagai seseorang yang penuh dengan ketakutan, seseorang yang selalu kalah dan salah. Kiku tahu itu, ia pernah mencobanya. Jika saja ia bisa memutar balik waktu, ia akan mencari dirinya dan berkata pada dirinya sendiri “Dengar Kiku, jangan kau pakai jaket rumbai-rumbai berwarna merah menyala itu. Aku tahu lebih dari apapun bahwa kau menyukainya karena jaket itu terlihat keren tapi jangan lakukan itu. Jangan menjadi spesial.”
Siang itu adalah siang pertama kali Kiku menginjakan kaki di kantin sekolah. Dia tidak ingin menyerah kali ini dan dia akan menggunakan waktu istirahat tiga puluh menitnya untuk menemukan teman baru. Kiku melihat Neta duduk di dekat jendela bersama teman-temannya. Kiku merasa jika ada orang yang bisa berteman dengannya, maka Neta-lah orang yang tepat. Ia memberanikan diri menghampiri Neta, dan memaksa dirinya untuk berbicara, suaranya terdengar nyaring “Boleh aku ikut duduk disini?”
Neta dan teman-temannya berhenti melakukan aktivitas mereka masing-masing, dan tidak ada yang berbicara hingga Neta memecah kesunyian dengan berkata “Boleh” Kiku menghela napas dengan lega. Jika Neta sama sekali tidak berbicara, mungkin Kiku bisa menjatuhkan bekalnya dan lari meninggalkan kantin. Neta dan keempat temannya bergeser, memberikan ruang untuk Kiku duduk. Jadi, berteman itu merupakan suatu hal yang sangat mudah? Kiku mengamati teman-teman barunya, melihat mereka satu per satu.
Tentu saja berteman itu tidak mudah, Kiku bodoh. Neta dan kawan-kawannya kembali melanjutkan perbincangan mereka yang sebelumnya terpotong dengan kedatangan Kiku, mereka menghiraukannya.
“Jadi, kemarin kamu pergi ke Bali? Apakah kamu benar-benar melihat Cameron Dallas disana?” salah satu teman Neta berkata
“Ya, aku hanya melihatnya sekilas tapi aku yakin itu dia” jawab teman Neta yang duduk di sebelah Kiku.
“Mengapa kamu tidak menghampirinya? Itu kan kesempatan emas!” Timpal temannya yang lain
Kiku mencoba untuk mengerti apa yang sedang mereka bicarakan, Kiku tertawa jika mereka tertawa, Kiku tersenyum jika salah satu dari mereka ada yang tersenyum saat mendengarkan Neta berbicara. Kiku sering berpikir bahwa pertemanan adalah suatu hal yang aneh, bagaimana ia bisa berteman secara tiba-tiba? Di saat Neta dan teman-temannya memiliki pengalaman yang cukup lama bersama, sedangkan Kiku? Tentu Kiku tidak bisa mengharapkan mereka untuk menjelaskan apa yang sedang mereka bicarakan.
“Kiku” salah satu teman Neta yang duduk di depannya menunjuknya
“Ya?” mata Kiku berbinar, mungkin ia akan menanyakan pendapat Kiku mengenai baju yang harus ia pakai untuk acara ulang tahun kakaknya, mungkin ia akan menanyakan apa kegemaran Kiku.
“Kiku” dia mengucapkan namanya lagi “Bersihkan semua ini”
Kemudian bel masuk pun berdering, Neta dan teman-temannya berdiri secara bersamaan dan meninggalkannya bersama kaleng-kaleng minuman, dan beberapa bungkus makanan ringan di meja.
Kiku terdiam, ia tetap duduk di bangkunya. Neta mendekatinya ketika teman-temannya sudah berjalan beberapa meter darinya “Kami selalu melakukan hal ini” dia berkata dengan nada menyesal “Orang yang terakhir meletakkan jarinya di hidung harus membersihkan sisa makanan. Jadi, untuk hari ini, kamu yang harus membersihkan meja” Neta berkata untuk yang terakhir kalinya, kemudian ia meninggalkan Kiku. Seharusnya Kiku berkata “Kalian memiliki peraturan yang aneh” atau “Oh, tapi aku tidak tahu kalau kalian memiliki aturan seperti itu” Kiku bisa berkata apa saja, tetapi semua sudah terlambat, tidak ada pilihan lain selain membersihkan sampah-sampah makanan milik Neta dan teman-temannya. Saat Kiku meraup bubuk-bubuk makanan ringan, ia menyadari bahwa tidak akan ada yang berubah dari Kiku, sebagaimanapun ia bekerja keras untuk menjalin pertemanan dengan siapapun, tidak akan ada yang berubah darinya. Mungkin Kiku bisa membeli sepatu baru, membeli celana jeans baru, atau menggunakan mobil untuk pergi ke sekolah tetapi Kiku adalah Kiku.
Ia ingat, saat duduk di kelas 4 SD, ia memillih untuk mengambil kelas tambahan teater. Kiku sangat menyukainya ketika ia harus bersandiwara, dan kelas teater membuka kesempatan bagi Kiku untuk bersandiwara seraya orang-orang memperhatikannya. Suatu ketika, setelah latihan untuk penampilan di akhir tahun, bu Erni (pembimbing kelas teater) mengadakan permainan dimana setiap orang harus menyebutkan tempat yang mereka ingin kunjungi di masa depan. Izzi berkata “Izzi mau ke Dufan!”  kemudian dilanjutkan oleh anak disebelahnya, permainan tersebut terus berlangsung hingga giliran Kiku tiba. Kiku pun berkata “Aku ingin ke Jokulsarlon, Iceland” Kiku merasa dirinya tidak melanggar aturan permainan tetapi semua orang menertawakannya dan menyebutnya “Jokulsarlon Kiku” selama tiga hari. Hal tersebut bukanlah hal yang buruk, pikir Kiku. Jokulsarlon adalah daerah yang bagus untuk melihat Aurora Borealis. Tetapi, entah kenapa setiap kali teman-temannya memanggilnya “Jokulsarlon Kiku” ia merasa bahwa “Jokulsarlon Kiku” bukanlah pujian, dan itu membuat Kiku bingung.
Pada akhirnya, Kiku menceritakan kejadian tersebut kepada ayahnya. Kiku menangis dan berulang kali mengatakan “Kenapa?”
“Mereka hanya meledekmu karena mereka cemburu” Ayahnya tersenyum seraya mengelus rambut anak semata wayangnya itu.
“Kenapa mereka begitu?” Kiku terisak. Apa mereka cemburu karena Kiku tahu Jokulsarlon sedangkan mereka tidak?
“Mereka cemburu karena kamu pintar Kiku. Kamu berbakat dan kamu tahu siapa dirimu”
Kiku berhenti menangis. Kata-kata yang diucapkan ayahnya berdengung di otaknya, mengisinya. Kiku pintar, dan Kiku berbakat. Kiku tahu dan mengerti dengan baik siapa dirinya.
Semenjak saat itu Kiku berhenti dari kelas teater. Dia memilih mengikuti kelas tambahan membaca. Tak banyak yang memilih kelas membaca, tetapi setidaknya ia merasa lebih baik diantara buku-buku dibandingkan diantara orang-orang. Tak lama dari kejadian di kelas teater, ada gadis baru yang pindah dari luar kota. Kiku dan gadis itu sering duduk bersama ketika jam istirahat. Ketika anak-anak lain bermain benteng-bentengan, mereka berdua membicarakan mengenai film pertama Harry Potter. Kemudian, Izzi menghampiri mereka dan dengan santai berkata “Jangan menghabiskan waktumu terlalu banyak dengan Kiku. Dia menular” Kiku hanya terdiam membatu. Berapa banyak pun cara yang Kiku coba untuk berteman dengan anak baru, hal tersebut tidak membuahkan hasil yang berarti. Entah kenapa, setiap anak baru, seluruh anak baru, cepat atau lambat mereka menemukan sesuatu tentang Kiku yang membuatnya dijauhi oleh orang-orang dan ya....gadis itu pun meninggalkannnya.

Mungkin kamu berpikir mengubah dirimu adalah suatu hal yang mudah, ya, semudah membalikan telapak tangan. Mungkin kamu berpikir itu adalah suatu hal yang mudah tetapi pada kenyataannya, tidak. Mengubah diri menjadi orang lain, seseorang yang masuk akal dan seseorang yang di “terima” oleh orang lain. Setelah istirahat tiga puluh menit berakhir, Kiku memutuskan bahwa hal logis selanjutnya yang ia harus lakukan adalah: bunuh diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar