Teks Cerpen
Tiga Puluh Menit
(Karya : Baby Yolinda)
Mungkin
kamu berpikir mengubah dirimu adalah suatu hal yang mudah, ya, semudah
membalikan telapak tangan. Mungkin kamu berpikir itu adalah suatu hal yang
mudah tetapi pada kenyataannya, tidak. Mengubah diri menjadi orang lain,
seseorang yang masuk akal dan seseorang yang di “terima” oleh orang lain. Apa kamu
mengganti cara berpakaian, gaya rambut, atau bahkan riasan wajahmu? Lakukanlah
hal tersebut. Potong ponimu, belilah tas baru, ubah caramu berbicara. Mereka
akan tetap melihatmu layaknya kamu sebelumnya, melihatmu sebagai seseorang yang
penuh dengan ketakutan, seseorang yang selalu kalah dan salah. Kiku tahu itu,
ia pernah mencobanya. Jika saja ia bisa memutar balik waktu, ia akan mencari
dirinya dan berkata pada dirinya sendiri “Dengar Kiku, jangan kau pakai jaket
rumbai-rumbai berwarna merah menyala itu. Aku tahu lebih dari apapun bahwa kau
menyukainya karena jaket itu terlihat keren tapi jangan lakukan itu. Jangan
menjadi spesial.”
Siang
itu adalah siang pertama kali Kiku menginjakan kaki di kantin sekolah. Dia
tidak ingin menyerah kali ini dan dia akan menggunakan waktu istirahat tiga
puluh menitnya untuk menemukan teman baru. Kiku melihat Neta duduk di dekat
jendela bersama teman-temannya. Kiku merasa jika ada orang yang bisa berteman
dengannya, maka Neta-lah orang yang tepat. Ia memberanikan diri menghampiri
Neta, dan memaksa dirinya untuk berbicara, suaranya terdengar nyaring “Boleh
aku ikut duduk disini?”
Neta
dan teman-temannya berhenti melakukan aktivitas mereka masing-masing, dan tidak
ada yang berbicara hingga Neta memecah kesunyian dengan berkata “Boleh” Kiku
menghela napas dengan lega. Jika Neta sama sekali tidak berbicara, mungkin Kiku
bisa menjatuhkan bekalnya dan lari meninggalkan kantin. Neta dan keempat
temannya bergeser, memberikan ruang untuk Kiku duduk. Jadi, berteman itu
merupakan suatu hal yang sangat mudah? Kiku mengamati teman-teman barunya,
melihat mereka satu per satu.
Tentu
saja berteman itu tidak mudah, Kiku bodoh. Neta dan kawan-kawannya kembali
melanjutkan perbincangan mereka yang sebelumnya terpotong dengan kedatangan
Kiku, mereka menghiraukannya.
“Jadi, kemarin
kamu pergi ke Bali? Apakah kamu benar-benar melihat Cameron Dallas disana?”
salah satu teman Neta berkata
“Ya, aku hanya
melihatnya sekilas tapi aku yakin itu dia” jawab teman Neta yang duduk di
sebelah Kiku.
“Mengapa kamu
tidak menghampirinya? Itu kan kesempatan emas!” Timpal temannya yang lain
Kiku mencoba
untuk mengerti apa yang sedang mereka bicarakan, Kiku tertawa jika mereka
tertawa, Kiku tersenyum jika salah satu dari mereka ada yang tersenyum saat
mendengarkan Neta berbicara. Kiku sering berpikir bahwa pertemanan adalah suatu
hal yang aneh, bagaimana ia bisa berteman secara tiba-tiba? Di saat Neta dan
teman-temannya memiliki pengalaman yang cukup lama bersama, sedangkan Kiku?
Tentu Kiku tidak bisa mengharapkan mereka untuk menjelaskan apa yang sedang
mereka bicarakan.
“Kiku” salah
satu teman Neta yang duduk di depannya menunjuknya
“Ya?” mata Kiku
berbinar, mungkin ia akan menanyakan pendapat Kiku mengenai baju yang harus ia
pakai untuk acara ulang tahun kakaknya, mungkin ia akan menanyakan apa
kegemaran Kiku.
“Kiku” dia
mengucapkan namanya lagi “Bersihkan semua ini”
Kemudian bel
masuk pun berdering, Neta dan teman-temannya berdiri secara bersamaan dan
meninggalkannya bersama kaleng-kaleng minuman, dan beberapa bungkus makanan
ringan di meja.
Kiku terdiam, ia
tetap duduk di bangkunya. Neta mendekatinya ketika teman-temannya sudah
berjalan beberapa meter darinya “Kami selalu melakukan hal ini” dia berkata
dengan nada menyesal “Orang yang terakhir meletakkan jarinya di hidung harus
membersihkan sisa makanan. Jadi, untuk hari ini, kamu yang harus membersihkan
meja” Neta berkata untuk yang terakhir kalinya, kemudian ia meninggalkan Kiku.
Seharusnya Kiku berkata “Kalian memiliki peraturan yang aneh” atau “Oh, tapi
aku tidak tahu kalau kalian memiliki aturan seperti itu” Kiku bisa berkata apa
saja, tetapi semua sudah terlambat, tidak ada pilihan lain selain membersihkan
sampah-sampah makanan milik Neta dan teman-temannya. Saat Kiku meraup
bubuk-bubuk makanan ringan, ia menyadari bahwa tidak akan ada yang berubah dari
Kiku, sebagaimanapun ia bekerja keras untuk menjalin pertemanan dengan
siapapun, tidak akan ada yang berubah darinya. Mungkin Kiku bisa membeli sepatu
baru, membeli celana jeans baru, atau menggunakan mobil untuk pergi ke sekolah
tetapi Kiku adalah Kiku.
Ia
ingat, saat duduk di kelas 4 SD, ia memillih untuk mengambil kelas tambahan
teater. Kiku sangat menyukainya ketika ia harus bersandiwara, dan kelas teater
membuka kesempatan bagi Kiku untuk bersandiwara seraya orang-orang
memperhatikannya. Suatu ketika, setelah latihan untuk penampilan di akhir
tahun, bu Erni (pembimbing kelas teater) mengadakan permainan dimana setiap
orang harus menyebutkan tempat yang mereka ingin kunjungi di masa depan. Izzi
berkata “Izzi mau ke Dufan!” kemudian
dilanjutkan oleh anak disebelahnya, permainan tersebut terus berlangsung hingga
giliran Kiku tiba. Kiku pun berkata “Aku ingin ke Jokulsarlon, Iceland” Kiku
merasa dirinya tidak melanggar aturan permainan tetapi semua orang
menertawakannya dan menyebutnya “Jokulsarlon Kiku” selama tiga hari. Hal
tersebut bukanlah hal yang buruk, pikir Kiku. Jokulsarlon adalah daerah yang
bagus untuk melihat Aurora Borealis. Tetapi, entah kenapa setiap kali
teman-temannya memanggilnya “Jokulsarlon Kiku” ia merasa bahwa “Jokulsarlon
Kiku” bukanlah pujian, dan itu membuat Kiku bingung.
Pada
akhirnya, Kiku menceritakan kejadian tersebut kepada ayahnya. Kiku menangis dan
berulang kali mengatakan “Kenapa?”
“Mereka hanya
meledekmu karena mereka cemburu” Ayahnya tersenyum seraya mengelus rambut anak
semata wayangnya itu.
“Kenapa mereka
begitu?” Kiku terisak. Apa mereka cemburu karena Kiku tahu Jokulsarlon
sedangkan mereka tidak?
“Mereka cemburu
karena kamu pintar Kiku. Kamu berbakat dan kamu tahu siapa dirimu”
Kiku berhenti
menangis. Kata-kata yang diucapkan ayahnya berdengung di otaknya, mengisinya.
Kiku pintar, dan Kiku berbakat. Kiku tahu dan mengerti dengan baik siapa
dirinya.
Semenjak
saat itu Kiku berhenti dari kelas teater. Dia memilih mengikuti kelas tambahan
membaca. Tak banyak yang memilih kelas membaca, tetapi setidaknya ia merasa
lebih baik diantara buku-buku dibandingkan diantara orang-orang. Tak lama dari
kejadian di kelas teater, ada gadis baru yang pindah dari luar kota. Kiku dan
gadis itu sering duduk bersama ketika jam istirahat. Ketika anak-anak lain
bermain benteng-bentengan, mereka berdua membicarakan mengenai film pertama
Harry Potter. Kemudian, Izzi menghampiri mereka dan dengan santai berkata
“Jangan menghabiskan waktumu terlalu banyak dengan Kiku. Dia menular” Kiku
hanya terdiam membatu. Berapa banyak pun cara yang Kiku coba untuk berteman
dengan anak baru, hal tersebut tidak membuahkan hasil yang berarti. Entah
kenapa, setiap anak baru, seluruh anak baru, cepat atau lambat mereka menemukan
sesuatu tentang Kiku yang membuatnya dijauhi oleh orang-orang dan ya....gadis
itu pun meninggalkannnya.
Mungkin
kamu berpikir mengubah dirimu adalah suatu hal yang mudah, ya, semudah
membalikan telapak tangan. Mungkin kamu berpikir itu adalah suatu hal yang
mudah tetapi pada kenyataannya, tidak. Mengubah diri menjadi orang lain,
seseorang yang masuk akal dan seseorang yang di “terima” oleh orang lain. Setelah
istirahat tiga puluh menit berakhir, Kiku memutuskan bahwa hal logis
selanjutnya yang ia harus lakukan adalah: bunuh diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar