Cerpen Pengamalan hidup
Arti Kehidupan
(Karya : Gregorius
Yudistira)
Seringkali
aku terdiam, terbesit di benakku gambaran perjalanan hidupku. Seperti terlukis
di sebuah kanvas oleh sang maestro, akhirnya hidupku kujalani bak air mengalir
tenang seperti sungai yang mengalir tanpa hambatan. Semuanya itu berjalan
seperti apa adanya. Saya lahir di Lampung 75 tahun yang lalu, Bambang Mustari
Sadino adalah nama pemberian orang tuaku, yang mengandung sejuta arti, makna,
dan latar belakang yang segalanya bertujuan agar kelak nantinya aku akan
menjadi orang yang sukses menggapai segala impianku. Bob Sadino, begitulah
orang lain lebih akrab menyebut namaku. Semenjak aku menjalani kehidupan yang
baru. Hingga aku dapat menanggapai anganku menjadi pengusaha sukses seperti sekarang
ini. Sering kali aku ingat kembali, rasanya hal itu mustahil akan terjadi dalam
kehidupanku. Hingga suatu saat ku berfikir bagaimana nasibku jika waktu itu aku
tak mengubah pandangan hidupku. Mungkin aku tak akan pernah menjadi orang.
Orang yang dipandang masyarakat luas.
Saya
termasuk anak yang sangat beruntung karena saya terlahir dari keluarga yang
hidup berkecukupan. Hampir tak ada kesulitan yang berarti bagiku, seakan tak
ada dan tak pernah mengguratkan stres. Aku dilahirkan sebagai anak bungsu dari
lima bersaudara. Semua kasih sayang dan perhatian tertumpah kepadaku, baik dari
kedua orang tuaku maupun dari keempat kakakku. Cukup mudah bagiku untuk
mendapatkan sagala sesuatu yang aku inginkan, dikala anak-anak lain seusiaku
harus hidup susah membantu orang tua guna mengais rejeki demi sesuap nasi.
Sulitnya anak-anak yang seumurku memperoleh hak pendidikan karena keadaan
ekeonomi orang tua mereka yang hanya pas-pasan, untuk mengisi perut, sekedar
menahan bunyi keroncongan agar berhenti. Sedangkan kedua orang tuaku mampu
membekali diriku dengan ilmu, hingga aku mencapai jenjeng pendidikan yang
lumayan tinggi pada zaman itu.
Dewi
Fortuna seakan enggan berlama-lama menyertaiku. Di usiaku yang saat itu belum
genap dua puluh tahun, sang Maha Pencipta berkenan memanggil kedua orang tuaku.
Banyak orang berkata bahwa masa-masa Sekolah Menengah Atas adalah masa-masa
yang paling indah bagi para bujangan sepertiku. Namun perkataan orang-orang
itu, entah mengapa hal itu menjauhiku dan yang berlaku sebaliknya dalam
hidupku. Bagai atap rumah patah penyangganya, kehidupanku yang berlimpah
materi, dari warisan kedua orang tuaku membuat diriku salah arah. Aku berfikir
hartaku banyak, buat apa aku berdiam diri di rumah, sedangkan di luar sana
banyak tempat-tempat yang belum pernah aku kunjungi. Hanya mataku yang telah
dimanjakan melalui kotak yang ada di ruang keluargaku yang selalu memberikan
informasi dari dunia luar, serta kicauan dari teman-teman sekolahku atau relasi
bisnis kedua orang tuaku. Aku baru tahu bahwa belahan dunia di luar sana begitu
sayang untuk terlewatkan. Bagai burung lepas dari sangkarnya, aku berkelana
mengejar kepuasan hidup semata, berbekal harta warisan peninggalan kedua orang
tuaku, aku menikmati indahnya dunia. Aku memanjakan diri dengan berjalan-jalan
ke negeri orang, hampir semua yang aku lihat di tevisi dan media cetak lainnya
bisa aku kunjungi. Eloknya semua pemandangan dan adanya dana, aku semakin
bergairah mencari tempat yang pernah ku dengar dari mereka semua yang pernah
secara langsung menyaksikannya ke sana. Pemandangan yang indah, hijaunya
pepohonan, dipadu birunya langit yang membias cantik ke permukaan air yang
tenang dan bening bagai kaca. Untaian air terjun yang merambat menuruni tebing
terjal menampilkan buih-buih yang menawan, ketika butiran airnya menyentuh
permukaan danau.
Tak
terasa simpanan depositoku makin lama makin terkikis hingga tersisa
setengahnya. Aku mulai berfikir, “Gimana kalau aku gak bisa cari uang”,
sedangkan tabungan menipis semakin lama semakin habis. Kebiasaan ku yang dapat
dibilang buruk, berbuah penyesalan yang mendalam. Kesenangan ku untuk
menghamburkan uang demi memanjakan diri lewat rekreasi, berbuah kesesakan.
Lambat laun pikiranku berbalik arah, aku harus bisa cari uang. Tetapi bisa apa
aku? Sementara hidupku di negeri orang, jauh saudara, teman tak punya. Di Negeri
Kincir Angin itulah aku mulai bekerja, di sinilah awal mula aku mulai
berdikari. Tak terbayangkan sulitnnya mencari uang. Selama ini aku selalu
berlimpah rupiah, tanpa harus banting tulang, kini aku harus bekerja demi
mempertahankan kehidupanku ini. Disaat aku mulai merasakan jerih payah hasil
cucuran keringatku sendiri, disaat yang sama itulah aku mulai merasakan arti
sebuah kesepian. Mungkin inilah garis hidupku, aku dipertemukan dengan seorang
gadis asli Indonesia yang bekerja di Belanda. Soelami Soejoed, itulah namanya.
Gadis cantik, tinggi semampai, berkulit sawo matang, ciri khas warna kulit
gadis dari negeri asalku, Indonesia tercinta. Tidak hanya dari fisiknya yang
membuat aku terpesona, tetapi tutur kata yang lembut, bahasanya yang halus,
dikemas dengan indah oleh kecerdasannya yang luar biasa, serta wawasannya yang
luas. Waktu berjam-jam tak akan terasa bila aku asik terbawa suasana saat
bercengkrama dengannya. Pola pikirnya yang matang membawaku semakin mantap
menentukan pilihanku padanya, untuk mengisi lembaran baru kehidupanku dalam
berumah tangga.
Hari-hari
yang tadinya ku lewati dengan rutinitas kerjaku di Djakarta Lylod, kini aku
semakin bergairah untuk menyongsong hari esok. Seperti suasana hatiku langit
pun cerah menudungi bumi, hangatnya matahari semakin menusuk tat kala siang
semakin terik. Kini semua tak kurasakan, semua tak membuatku malas, karena di
rumah telah menunggu keluarga kecilku. Tak terasa sembilan tahun sudah aku
bekerja di Negeri Kincir Angin, dan juga di Jerman tepatnya di Kota Amsterdam.
Bercengkrama dengan hiruk pikuknya para pekerja di sana, berharap hidup ini tak
sia-sia. Keinginan pulangku ke negara asalku Indonesia semakin kuat.
Didampingin interiku tercinta, beserta anak-anakku semakin bulat tekadku ingin
pulang ke negeri dimana aku dilahirkan dan dibesarkan.
Pada
tahun 1967 aku beserta keluargaku kembali ke Indonesia. Sekalipun hartaku tak
lagi banyak, hanya dua Mercedes keluaran tahun 1960an yang ikut menyertai
kepindahanku. Tidak lama kemudian salah satu mobilku harus ku jual, guna
membeli sebidang tanah, dimana aku beserta keluargaku akan tinggal, yaitu di
Kemang, Jakarta Selatan. Pengalaman kerja di negeri orang dan tuntutan ekonomi
keluargaku semakin membulatkan tekadku untuk bekerja secara mandiri. Akhirnya
aku keluar dari perusahaan dan memulai membuka usaha penyewaan mobil, yang
hanya sisa satu-satunya yang aku miliki. Dan aku pun sekaligus bekerja sebagai
supir bagi orang yang menyewa mobilku. Memang tidak besar penghasilanku dari
menyewakan sekaligus menjadi supir, jika dibandingkan dengan banyaknya hartaku
yang ku miliki dahulu, tetapi itu semua mampu menopang ekonomi keluargaku.
Tetapi itu semua tak berjalan mulus seperti cita-citaku pada waktu aku
menyatakan diri tuk keluar dari perusahaan, dan ingin berwiraswasta. Hari itu
tak ada firasat apapun yang timbul dalam benakku, ketika aku membawa mobil
untuk mengantar seseorang. Seperti biasa aku duduk di depan kemudi tuk
mengantar temanku. Karena terburu-buru mobil ku bawa amat kencang ban mobil
sampai berderit-derit setiap kali meluncur melewati tikungan tajam yang
berbahaya. Sebelum mobilku memasuki jalan tol mesinnya menderu-deru dengan
ganasnya tat kala sepedometer melampaui angka seratus dua puluh. Terbesit di
benakku, inikah namanya pembalap, saling berkejar-kejaran tetapi berhenti saat
sampai di finish. Tiba-tiba kurasakan gelap gulita, keheningan menyelimuti
suasana yang mencekam. Mungkin baru sekali ini aku merasakan sakit, sedih,
sesal, dan khawatir yang amat sangat bercampur aduk menjadi satu. Kesadaranku
mulai pulih kembali, perlahan-lahan mataku terbuka, berribu-ribu pertanyaan
berkecambuk di dalam pikiranku , dimanakah aku? Aku kenapa? Ada kejadian apa
yang menimpa ku? Megapa aku disini? Pelan-pelan satu demi satu semua pertanya
itu terjawab. Kesedihanku bertambah saat ku ingat peritiwa terakhir sebelum
akhirnya aku tergoler tak berdaya bak bayi baru lahir di rumah sakit. Aduh...
mobilku, gimana keadanannya? Mobilku yang satu-satunya tersisa yang aku miliki
sebagai sumber matapencaharianku. Mobilku yang selalu setia mendampingiku
disaat aku mengumpulkan selembar demi selembar rupiah dalam dompetku tergolek
rusak amat parah dan tidak mungkin lagi dapat memanjakan pelangganku sampai ke
tempat yang dituju. Sulitnya hidup kembali amat ku rasakan, apalagi keluarga
besarku, biaya pendidikan anakku dan kebutuhan hidup membuatku untuk harus
selalu siap bekerja menjadi apapun.
Kuli
bangunan menjadi profesi baruku, yang pada masa itu sangat ngetrend di kalangan
tetanggaku. Kala itu tetanggaku banyak yang bekerja di bangunan, ada yang
menjadi tukang batu, ada juga yang menjadi tukang kayu, selain itu ada yang
hanya menjadi laden tukang, atau kita biasa memanggilnya kenk tukang, yaitu
orang yang membantu pekerjaan tukang kayu dan tukang batu. Disinilah aku menggantungkan
hidupku, dengan gaji seratus rupiah sebagai ganti upah kerja kerasku. Sekalipun
aku hanya bekerja di bangunan, tetapi aku bahagia karena isteri dan anak-anakku
menerima apa adanya. Meskipun terkadang perih kurasakan ketika upah seratus
rupiah hanya numpang lewat di dompetku, tak jarang belum tiba waktunya gajian
berikutnya, isteriku sudah laporan untuk keperluan ini dan itu yang belum
dibayar. Tetapi mereka selalu memaklumi keadaan ekonomi keluarga kami, hingga
suatu hari, di tengah membengkaknya tuntutan kebutuhan sehari-hari dan biaya
pendidikan yang tak jarang membuatku pusing tujuh keliling.
Teman
lama ku yang berada di Belanda memberiku saran agar aku mencoba dan berbisnis telur
ayam negeri. Hal itu patut ku coba terutama mengingat depresi yang mendalam
yang akibat segala hambatan dan tantangan hidup yang ku alami selama ini, dan
aku tak bisa tinggal diam saja untuk menunggu keterpurukanku semakin menjadi-jadi
dan berbuah keputus asaan yang mendalam. Ucapan semangat dan motivasi yang
selalu diberikan oleh anak dan isteriku membuat ku selalu tegar, dan semakin
bersemangat untuk bangkit dan memperjuangkan kemerdekaan dari belenggu depresi
yang meluka mendalam dalam seluruh tubuhku. Dengan sekuat tenaga aku berusaha
mencari tambahan modal dengan cara mengetuk hati teman-temanku agar rela
meminjamkan uangnya kepadaku. Dan dari situlah akhirnya aku mulai mengawali
bisnisku dengan mengembangkan usaha peternakan ayam negeri. Apalagi waktu itu
ayam kampung masih mendominasi pasar Indonesia, hal itu sama sekali tak membuat
semangatku yang telah berkobar itu menghilang, namun semakin menambah
motivasiku untuk lebih kerja keras. Dan akulah yang pertama kali memperkenalkan
ayam negeri beserta telurnya ke Indonesia. Dari pintu ke pintu aku tawarkan
telur ayamku. Memang tak mudah bagiku sebagai pendatang baru untuk hanya
sekedar mencari pelanggan.
“Telur...
telur.. Pak, Bu, mau coba telur ayam negeri? Ini baru lho di Indonesia!”
begitulah aku menjajakan telur ayam negeriku berkeliling kampung.
Sekalipun
hanya bisa masuk ke kalangan tertentu yaitu ekspatriat-ekspatriat yang tinggal
di daerah Kemang, dan orang-orang Indonesia yang pernah bekerja di luar negeri,
toh akhirnya seiring dengan berjalannya waktu, telur ayam negeriku mulai
dikenal oleh masyarakat, dan tak jarang juga ada orang yang selalu membeli
telur ayam negeriku dan mau menjadi langgananku, sehingga bisnisku semakin
berkembang. Apa lagi masyarakat mulai mengenal daging ayam negeri. Selain itu
bisnisku merambah di bidang sayuran, dengan penanaman atau peladangan sistem
hidroponik yang dulunya ku pelajari kala ku berada di Belanda dan Jerman. Kini
jerih payahku membuahkan hasil yang memuaskan dan menggembirakan.
Tak
habis-habisnya ide-ide bisnis yang selalu muncul dan terlintas dalam benakku,
namun tak ada yang sempurna di dunia ini, aku pun menyadari keterbatasan yang
ku miliki sehingga aku tak dapat mewujud nyatakan semua ide-ide bisnisku itu.
Namun aku selalu bersyukur dan meminta pertolongan Tuhan Yang Maha Esa dalam
setiap hiluk pikuk perjalanan kehidupanku, agar kemudahan dan keberhasilan
selalu menyertai segala usahaku. Jangan sesali satu haripun dalam hidupmu.
Kenanglah hari baik yang telah memberimu kebahagiaan, dan hari buruk yang
berimu pengalaman. Hidup ini memang sulit, apa yang kamu inginkan tak akan
selalu kamu dapatkan, namun jangan pernah menyerah. Berusaha dan berdoa. Jalani
kehidupan dengan penuh kesungguhan, hadapi kenyataan dengan penuh kesabaran.
Maka apa yang akan kita dapat adalah kebahagiaan. Tapi berdoa, bukan karena
kamu membutuhkan sesuatu, tapi karena kamu harus bersyukur atas apa yang telah
Tuhan berikan dalam hidupmu. Tak peduli apa yang terjadi dalam hidupmu, baik
atau pun buruk, percayalah itu semua dari Tuhan tuk kebaikan dirimu. Kadang
Tuhan memberi cobaan yang berat dalam hidupmu, karena Dia mempersiapkan dirimu
menerima sesuatu yang baik di masa depanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar