Sabtu, 30 Mei 2015

Cerpen Pengamalan hidup

Arti Kehidupan
(Karya : Gregorius Yudistira)

            Seringkali aku terdiam, terbesit di benakku gambaran perjalanan hidupku. Seperti terlukis di sebuah kanvas oleh sang maestro, akhirnya hidupku kujalani bak air mengalir tenang seperti sungai yang mengalir tanpa hambatan. Semuanya itu berjalan seperti apa adanya. Saya lahir di Lampung 75 tahun yang lalu, Bambang Mustari Sadino adalah nama pemberian orang tuaku, yang mengandung sejuta arti, makna, dan latar belakang yang segalanya bertujuan agar kelak nantinya aku akan menjadi orang yang sukses menggapai segala impianku. Bob Sadino, begitulah orang lain lebih akrab menyebut namaku. Semenjak aku menjalani kehidupan yang baru. Hingga aku dapat menanggapai anganku menjadi pengusaha sukses seperti sekarang ini. Sering kali aku ingat kembali, rasanya hal itu mustahil akan terjadi dalam kehidupanku. Hingga suatu saat ku berfikir bagaimana nasibku jika waktu itu aku tak mengubah pandangan hidupku. Mungkin aku tak akan pernah menjadi orang. Orang yang dipandang masyarakat luas.
            Saya termasuk anak yang sangat beruntung karena saya terlahir dari keluarga yang hidup berkecukupan. Hampir tak ada kesulitan yang berarti bagiku, seakan tak ada dan tak pernah mengguratkan stres. Aku dilahirkan sebagai anak bungsu dari lima bersaudara. Semua kasih sayang dan perhatian tertumpah kepadaku, baik dari kedua orang tuaku maupun dari keempat kakakku. Cukup mudah bagiku untuk mendapatkan sagala sesuatu yang aku inginkan, dikala anak-anak lain seusiaku harus hidup susah membantu orang tua guna mengais rejeki demi sesuap nasi. Sulitnya anak-anak yang seumurku memperoleh hak pendidikan karena keadaan ekeonomi orang tua mereka yang hanya pas-pasan, untuk mengisi perut, sekedar menahan bunyi keroncongan agar berhenti. Sedangkan kedua orang tuaku mampu membekali diriku dengan ilmu, hingga aku mencapai jenjeng pendidikan yang lumayan tinggi pada zaman itu.
            Dewi Fortuna seakan enggan berlama-lama menyertaiku. Di usiaku yang saat itu belum genap dua puluh tahun, sang Maha Pencipta berkenan memanggil kedua orang tuaku. Banyak orang berkata bahwa masa-masa Sekolah Menengah Atas adalah masa-masa yang paling indah bagi para bujangan sepertiku. Namun perkataan orang-orang itu, entah mengapa hal itu menjauhiku dan yang berlaku sebaliknya dalam hidupku. Bagai atap rumah patah penyangganya, kehidupanku yang berlimpah materi, dari warisan kedua orang tuaku membuat diriku salah arah. Aku berfikir hartaku banyak, buat apa aku berdiam diri di rumah, sedangkan di luar sana banyak tempat-tempat yang belum pernah aku kunjungi. Hanya mataku yang telah dimanjakan melalui kotak yang ada di ruang keluargaku yang selalu memberikan informasi dari dunia luar, serta kicauan dari teman-teman sekolahku atau relasi bisnis kedua orang tuaku. Aku baru tahu bahwa belahan dunia di luar sana begitu sayang untuk terlewatkan. Bagai burung lepas dari sangkarnya, aku berkelana mengejar kepuasan hidup semata, berbekal harta warisan peninggalan kedua orang tuaku, aku menikmati indahnya dunia. Aku memanjakan diri dengan berjalan-jalan ke negeri orang, hampir semua yang aku lihat di tevisi dan media cetak lainnya bisa aku kunjungi. Eloknya semua pemandangan dan adanya dana, aku semakin bergairah mencari tempat yang pernah ku dengar dari mereka semua yang pernah secara langsung menyaksikannya ke sana. Pemandangan yang indah, hijaunya pepohonan, dipadu birunya langit yang membias cantik ke permukaan air yang tenang dan bening bagai kaca. Untaian air terjun yang merambat menuruni tebing terjal menampilkan buih-buih yang menawan, ketika butiran airnya menyentuh permukaan danau.
            Tak terasa simpanan depositoku makin lama makin terkikis hingga tersisa setengahnya. Aku mulai berfikir, “Gimana kalau aku gak bisa cari uang”, sedangkan tabungan menipis semakin lama semakin habis. Kebiasaan ku yang dapat dibilang buruk, berbuah penyesalan yang mendalam. Kesenangan ku untuk menghamburkan uang demi memanjakan diri lewat rekreasi, berbuah kesesakan. Lambat laun pikiranku berbalik arah, aku harus bisa cari uang. Tetapi bisa apa aku? Sementara hidupku di negeri orang, jauh saudara, teman tak punya. Di Negeri Kincir Angin itulah aku mulai bekerja, di sinilah awal mula aku mulai berdikari. Tak terbayangkan sulitnnya mencari uang. Selama ini aku selalu berlimpah rupiah, tanpa harus banting tulang, kini aku harus bekerja demi mempertahankan kehidupanku ini. Disaat aku mulai merasakan jerih payah hasil cucuran keringatku sendiri, disaat yang sama itulah aku mulai merasakan arti sebuah kesepian. Mungkin inilah garis hidupku, aku dipertemukan dengan seorang gadis asli Indonesia yang bekerja di Belanda. Soelami Soejoed, itulah namanya. Gadis cantik, tinggi semampai, berkulit sawo matang, ciri khas warna kulit gadis dari negeri asalku, Indonesia tercinta. Tidak hanya dari fisiknya yang membuat aku terpesona, tetapi tutur kata yang lembut, bahasanya yang halus, dikemas dengan indah oleh kecerdasannya yang luar biasa, serta wawasannya yang luas. Waktu berjam-jam tak akan terasa bila aku asik terbawa suasana saat bercengkrama dengannya. Pola pikirnya yang matang membawaku semakin mantap menentukan pilihanku padanya, untuk mengisi lembaran baru kehidupanku dalam berumah tangga.
            Hari-hari yang tadinya ku lewati dengan rutinitas kerjaku di Djakarta Lylod, kini aku semakin bergairah untuk menyongsong hari esok. Seperti suasana hatiku langit pun cerah menudungi bumi, hangatnya matahari semakin menusuk tat kala siang semakin terik. Kini semua tak kurasakan, semua tak membuatku malas, karena di rumah telah menunggu keluarga kecilku. Tak terasa sembilan tahun sudah aku bekerja di Negeri Kincir Angin, dan juga di Jerman tepatnya di Kota Amsterdam. Bercengkrama dengan hiruk pikuknya para pekerja di sana, berharap hidup ini tak sia-sia. Keinginan pulangku ke negara asalku Indonesia semakin kuat. Didampingin interiku tercinta, beserta anak-anakku semakin bulat tekadku ingin pulang ke negeri dimana aku dilahirkan dan dibesarkan.
            Pada tahun 1967 aku beserta keluargaku kembali ke Indonesia. Sekalipun hartaku tak lagi banyak, hanya dua Mercedes keluaran tahun 1960an yang ikut menyertai kepindahanku. Tidak lama kemudian salah satu mobilku harus ku jual, guna membeli sebidang tanah, dimana aku beserta keluargaku akan tinggal, yaitu di Kemang, Jakarta Selatan. Pengalaman kerja di negeri orang dan tuntutan ekonomi keluargaku semakin membulatkan tekadku untuk bekerja secara mandiri. Akhirnya aku keluar dari perusahaan dan memulai membuka usaha penyewaan mobil, yang hanya sisa satu-satunya yang aku miliki. Dan aku pun sekaligus bekerja sebagai supir bagi orang yang menyewa mobilku. Memang tidak besar penghasilanku dari menyewakan sekaligus menjadi supir, jika dibandingkan dengan banyaknya hartaku yang ku miliki dahulu, tetapi itu semua mampu menopang ekonomi keluargaku. Tetapi itu semua tak berjalan mulus seperti cita-citaku pada waktu aku menyatakan diri tuk keluar dari perusahaan, dan ingin berwiraswasta. Hari itu tak ada firasat apapun yang timbul dalam benakku, ketika aku membawa mobil untuk mengantar seseorang. Seperti biasa aku duduk di depan kemudi tuk mengantar temanku. Karena terburu-buru mobil ku bawa amat kencang ban mobil sampai berderit-derit setiap kali meluncur melewati tikungan tajam yang berbahaya. Sebelum mobilku memasuki jalan tol mesinnya menderu-deru dengan ganasnya tat kala sepedometer melampaui angka seratus dua puluh. Terbesit di benakku, inikah namanya pembalap, saling berkejar-kejaran tetapi berhenti saat sampai di finish. Tiba-tiba kurasakan gelap gulita, keheningan menyelimuti suasana yang mencekam. Mungkin baru sekali ini aku merasakan sakit, sedih, sesal, dan khawatir yang amat sangat bercampur aduk menjadi satu. Kesadaranku mulai pulih kembali, perlahan-lahan mataku terbuka, berribu-ribu pertanyaan berkecambuk di dalam pikiranku , dimanakah aku? Aku kenapa? Ada kejadian apa yang menimpa ku? Megapa aku disini? Pelan-pelan satu demi satu semua pertanya itu terjawab. Kesedihanku bertambah saat ku ingat peritiwa terakhir sebelum akhirnya aku tergoler tak berdaya bak bayi baru lahir di rumah sakit. Aduh... mobilku, gimana keadanannya? Mobilku yang satu-satunya tersisa yang aku miliki sebagai sumber matapencaharianku. Mobilku yang selalu setia mendampingiku disaat aku mengumpulkan selembar demi selembar rupiah dalam dompetku tergolek rusak amat parah dan tidak mungkin lagi dapat memanjakan pelangganku sampai ke tempat yang dituju. Sulitnya hidup kembali amat ku rasakan, apalagi keluarga besarku, biaya pendidikan anakku dan kebutuhan hidup membuatku untuk harus selalu siap bekerja menjadi apapun.
            Kuli bangunan menjadi profesi baruku, yang pada masa itu sangat ngetrend di kalangan tetanggaku. Kala itu tetanggaku banyak yang bekerja di bangunan, ada yang menjadi tukang batu, ada juga yang menjadi tukang kayu, selain itu ada yang hanya menjadi laden tukang, atau kita biasa memanggilnya kenk tukang, yaitu orang yang membantu pekerjaan tukang kayu dan tukang batu. Disinilah aku menggantungkan hidupku, dengan gaji seratus rupiah sebagai ganti upah kerja kerasku. Sekalipun aku hanya bekerja di bangunan, tetapi aku bahagia karena isteri dan anak-anakku menerima apa adanya. Meskipun terkadang perih kurasakan ketika upah seratus rupiah hanya numpang lewat di dompetku, tak jarang belum tiba waktunya gajian berikutnya, isteriku sudah laporan untuk keperluan ini dan itu yang belum dibayar. Tetapi mereka selalu memaklumi keadaan ekonomi keluarga kami, hingga suatu hari, di tengah membengkaknya tuntutan kebutuhan sehari-hari dan biaya pendidikan yang tak jarang membuatku pusing tujuh keliling.
            Teman lama ku yang berada di Belanda memberiku saran agar aku mencoba dan berbisnis telur ayam negeri. Hal itu patut ku coba terutama mengingat depresi yang mendalam yang akibat segala hambatan dan tantangan hidup yang ku alami selama ini, dan aku tak bisa tinggal diam saja untuk menunggu keterpurukanku semakin menjadi-jadi dan berbuah keputus asaan yang mendalam. Ucapan semangat dan motivasi yang selalu diberikan oleh anak dan isteriku membuat ku selalu tegar, dan semakin bersemangat untuk bangkit dan memperjuangkan kemerdekaan dari belenggu depresi yang meluka mendalam dalam seluruh tubuhku. Dengan sekuat tenaga aku berusaha mencari tambahan modal dengan cara mengetuk hati teman-temanku agar rela meminjamkan uangnya kepadaku. Dan dari situlah akhirnya aku mulai mengawali bisnisku dengan mengembangkan usaha peternakan ayam negeri. Apalagi waktu itu ayam kampung masih mendominasi pasar Indonesia, hal itu sama sekali tak membuat semangatku yang telah berkobar itu menghilang, namun semakin menambah motivasiku untuk lebih kerja keras. Dan akulah yang pertama kali memperkenalkan ayam negeri beserta telurnya ke Indonesia. Dari pintu ke pintu aku tawarkan telur ayamku. Memang tak mudah bagiku sebagai pendatang baru untuk hanya sekedar mencari pelanggan.
            “Telur... telur.. Pak, Bu, mau coba telur ayam negeri? Ini baru lho di Indonesia!” begitulah aku menjajakan telur ayam negeriku berkeliling kampung.
            Sekalipun hanya bisa masuk ke kalangan tertentu yaitu ekspatriat-ekspatriat yang tinggal di daerah Kemang, dan orang-orang Indonesia yang pernah bekerja di luar negeri, toh akhirnya seiring dengan berjalannya waktu, telur ayam negeriku mulai dikenal oleh masyarakat, dan tak jarang juga ada orang yang selalu membeli telur ayam negeriku dan mau menjadi langgananku, sehingga bisnisku semakin berkembang. Apa lagi masyarakat mulai mengenal daging ayam negeri. Selain itu bisnisku merambah di bidang sayuran, dengan penanaman atau peladangan sistem hidroponik yang dulunya ku pelajari kala ku berada di Belanda dan Jerman. Kini jerih payahku membuahkan hasil yang memuaskan dan menggembirakan.

            Tak habis-habisnya ide-ide bisnis yang selalu muncul dan terlintas dalam benakku, namun tak ada yang sempurna di dunia ini, aku pun menyadari keterbatasan yang ku miliki sehingga aku tak dapat mewujud nyatakan semua ide-ide bisnisku itu. Namun aku selalu bersyukur dan meminta pertolongan Tuhan Yang Maha Esa dalam setiap hiluk pikuk perjalanan kehidupanku, agar kemudahan dan keberhasilan selalu menyertai segala usahaku. Jangan sesali satu haripun dalam hidupmu. Kenanglah hari baik yang telah memberimu kebahagiaan, dan hari buruk yang berimu pengalaman. Hidup ini memang sulit, apa yang kamu inginkan tak akan selalu kamu dapatkan, namun jangan pernah menyerah. Berusaha dan berdoa. Jalani kehidupan dengan penuh kesungguhan, hadapi kenyataan dengan penuh kesabaran. Maka apa yang akan kita dapat adalah kebahagiaan. Tapi berdoa, bukan karena kamu membutuhkan sesuatu, tapi karena kamu harus bersyukur atas apa yang telah Tuhan berikan dalam hidupmu. Tak peduli apa yang terjadi dalam hidupmu, baik atau pun buruk, percayalah itu semua dari Tuhan tuk kebaikan dirimu. Kadang Tuhan memberi cobaan yang berat dalam hidupmu, karena Dia mempersiapkan dirimu menerima sesuatu yang baik di masa depanmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar