Teks Ulasan Film Serdadu Kumbang
Kasih Sayang, Perjuangan dan Cita-Cita dalam film “Serdadu Kumbang”
Film ini diambil dari beberaps kisah nyata yang ber-setting pendidikan,
karakter dan cita-cita anak bangsa. Dengan disutradarai oleh Ari Sihasale dan
diperankan oleh Yudi Miftahudin sebagai Amek, pemeran utama yang notabene, Yudi
adalah seorang pekerja seni atau pemain film pendatang baru. Film ini mengambil
lokasi di daerah Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Film ini bercerita tentang 3
orang anak laki-laki yang berasal dari desa Mantar, yaitu Amek (Yudi
Miftahudin), Acan (Fachri Azhari) dan Umbe (Aji Santosa). Mereka semua berusaha
keras ingin mengejar cita-cita mereka meski dengan berbagai keterbatasan yang
mereka miliki.
Berawal dari kisah nyata yang terjadi tahun lalu, dimana hampir
sebagian siswa-siswa SD dan SMP di Indonesia tidak lulus ujian nasional (UN).
Berbekal dari pengalaman itu, guru-guru di SD dan SMP 08 semakin memperketat
kegiatan belajar mengajar. Tahun lalu, SD dan SMP 08 dianggap sebagai sekolah
yang baik karena dari 30 orang siswa yang mengikuti ujian nasional, hanya 8
orang yang tidak lulus. Maka, untuk tahun ini mereka menginginkan anak-anak
yang tahun ini mengikuti ujian nasional agar lulus 100 persen. Untuk mencapai
targetnya itu, salah satu guru di SD dan SMP 08 yang bernama Bapak Alim yang
diperankan oleh Lukman Sardi memperketat aturan dan sistem mengajar. Namun,
penegakkan kedisiplinan yang kaku menimbulkan dampat yang kurang baik bagi murid-murid
yang masih dalam masa pertumbuhan. Setiap siswa yang datang terlambat, akan
dihukum oleh Pak Alim. Push-up, sit-up, mengelilingi lapangan dan
jenis-jenis hukuman fisik lainnya dipercaya mampu memberikan kedisiplinan bagi
siswa. Alasannya hanya satu, siapa yang tidak mengikuti aturan maka ia harus
dihukum.
Amek tinggal bersama kakanya, Minun yang diperankan oleh Monica
Sayangbati dan ibunya, Siti yang diperankan oleh Titi Sjuman, di desa Mantar,
Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Suatu desa yang terletak di puncak bukit, jauh
dari perkotaan. Suami Siti, Zakaria (Asrul Dahlan) sudah tiga tahun bekerja di
Malaysia tetapi belum juga pulang, apalagi mengirim mereka uang. Suatu hari,
ibunya Amek datang ke sekolah Amek dan memanggil Amek untuk membacakan surat yang
dikirim oleh ayahnya. Dalam surat itu, terdapat nomor telepon yang dapat
dihubungi Amek untuk mengetahui kabar ayahnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk
menghubungi ayahnya dengan menukar anak kambing dengan telepon genggam milik
salah seorang pamannya. Lalu, ia membeli nomor perdana dan pulsa walaupun ia
hanya membeli sebesar Rp 5000,00. Besar pulsa yang pastinya tidak akan cukup
untuk menghubungi ayahnya di Malaysia. Selain itu, karena Amek tinggal di
sebuah desa yang jauh dari perkotaan, maka tidak aneh jika untuk mendapatkan
sinyal untuk menelepon sangat sulit didapatkan. Sehingga, ia harus menunggu
sampai larut malam dan akhirnya ia dihukum oleh Pak Alim sebelum ia bisa masuk
ke kelasnya.
Sebenarnya Amek anak yang baik, namun sifatnya yang introvert, keras
hati dan cenderung jahil membuat ia sering dihukum oleh guru-gurunya.
Sebaliknya, Minun kakanya yang duduk di bangku SMP dan selalu juara kelas.
Minun juga sering menjuarai perlombaan matematika se-kabupaten. Sederet piala
dan sertifikat berjejer di ruang tamu mereka. Minun dikenal sebagai ikon
sekolah, kebanggaan keluarga dan masyarakat.
Namun, di sisi lain, kadang Amek juga memperdulikan keadaan
sekitarnya. Seperti ketika sebuah kursi guru di runag kelasnya rusak dan saat
itu akan diadakan ulangan mata pelajaran Pak Alim namun ditunda lantaran
kursinya rusak dan Pak Alim langsung naik darah menghukum murid-muridnya di
lapangan dan tidak memperbolehkan mereka mengikuti ulangan sampai ada yang
mengakui siapa yang berani-beraninya menukar kursi guru dengan kursi yang telah
rusak. Secara tiba-tiba Amek mengakui di depan teman-teman dan guru0-guru yang
lain bahwa ia sengaja menukar kursi yang rusak itu menjadi kursi guru. Tak
menunggu waktu lama, Pak Alim langsung menghukum Amek di depan lapangan. Ketika
Amek ditanya oleh guru-guru yang lain apakah itu benar atau tidak, Amek berkata
bahwa ia melakukan ini semua demi teman-teman kelasnya agar bisa mengikuti
ulangan Pak Alim.
Di luar desa yang indah dan tertata rapi itu, ada sebuah pohon yang
tidak begitu tinggi, namun letaknya persis di bibir tebing menghadap ke laut
lepas. Orang kampung sekitar menyebut pohon ini sebagai pohon cita-cita. Pohon
itu memang unik karena hampir di setiap dahan diikat dengan tali yang menjulur
ke bawah karena ujungnya diberi pemberat. Secarik kertas bertuliskan nama
seseorang berikut cita-citanya yang dimasukkan ke dalam botol warna-warnu
hingga pohon cita-cita itu terlihat indah.
Amek pun menulis namanya dalam secarik kertas dan menuliskan
cita-citanya lalu ia masukkan ke dalam botol. Baru kali ini Amek berani
menuliskan cita-citanya sebagai penyiar berita di televisi pada secarik kertas.
Hal ini dikarenakan, Amek takut akan cita-citaya. Pertanyaan-pertanyaan yang
dilontarkan kepadanya mengenai cita-citanya tak pernah ia jawab. Ia sadar betul
akan kekurangan yang ia miliki telah menjauhkan dirinya dengan cita-citanya.
Minun, peran seorang kakak yang sebaiknya dicontoh. Minun
memerankan figure seorang kaka yang natural, yang patut dicontoh
karena prestasi dan rasa sayang yang besar kepada Amek, adiknya. Bukan saja
karena adiknya itu tidak lulus ujian nasional tahun lalu, lebih dari itu Amek
memiliki kekurangan lahir, bibirnya sumbing dan sering dijadikan lelucon oleh
teman-temannya. Namun, dibalik sisi penyayang dari seorang Minun, ia juga
memiliki hati dan perasaan yang rapuh, terlebih jika masalah akademisnya. Minun
terlihat lebih pendiam dan kalem daripada Amek, adiknya. Sampai-sampai, Minun
memendam rasa kecewa dan sedihnya sendiri karena ia tidak lulus ujian nasional.
Padahal, Minun anak yang pintar dan rajin. Untuk mengobati rasa kecewa dan
sedihnya ia datang ke pohon cita-cita. Maksud untuk mengambil cita-cita yang
pernah ia gantung disana, tetapi Minun malah terjatuh dari dahan pohon karena
ia tak sampai untuk mengambil botolnya karena terlalu tinggi. Sehingga ia
langsung terjatuh dan tidak sadarkan diri sampai ia meninggal. Dibalik
kekurangannya, Amek, ia mahir berkuda. Hal ini ditunjukkan ketika Amek
menjuarai perlombaan berkuda.
Film yang berjudul “Serdadu Kumbang” ini diambil dari sebuah cerita
yang terkenal di kalangan anak-anak desan Mantar, Sumbawa yaitu tentang
asal-usul darimana kumbang berasal. Awalnya, ada seorang manusia. Seorang anak
kecil yang dibuang ke hutan, anak kecil itu berasal dari keluarga kerajaan.
Namun, istri raja tidak tahu. Raja sengaja membuang anak kecil itu karena malu.
Anak kecil itu cacat bisu. Sama seperti Amek, sebagai pemeran utama yang
memiliki kelainan di bagian mulutnya yaitu bibir sumbing. Karena anak kecil itu
tak bisa bicara, ia tak tahu arah jalan pulang. Lalu, anak kecil itu berdoa
agar dosa-dosa ayahnya yaitu sang raja diampuni dan anak kecil meminta agar ia
dipertemukan dengan ibunya. Singkat cerita, anak kecil itu pun langsung berubah
menjadi kumbang. Lalu, ia terbang ke istana. Sampai di istana, ia melihat
istana habis terbakar. Raja dan prajurit-prajuritnya mati, si kumbang pun
terbang mencari ibunya. Ia melihat ibunya sedang dikejar-kejar oleh musuh, lalu
anak kecil yang berubah menjadi kumbang itu berdoa agar ibuunya dijauhkan dari
jahatnya manusia-manusia. Lalu, ibunya berubah menjadi kupu-kupu. Sejak saat
itu, kumbang dan kupu-kupu ada di bumi.
Film ini juga sarat akan makna dan pesan. Disamping ingin
mengenalkan mengenai budaya-budaya yang berkembang di Sumbawa, film ini juga
mengenalkan daerah lain di Indonesia yang masih belum terjamah, yaitu Sumbawa,
Nusa Tenggara Barat. Banyak orang-orang yang belum tahu apa kelebihan dan
menjadi ciri khas dari salah satu kota di provinsi Nusa Tenggara Barat ini.
Film ini, mengenalkan kepada penonton yang menonton film ini bahwa Sumbawa
memiliki kuda Sumbawa yang bisa menghasilkan susu yang bermanfaat bagi manusia.
Selain karena faunanya, Sumbawa juga memiliki keindahann alam yang sangat
bagus. Sama halnya dengan film “Laskar Pelangi” karya Andrea Hirata yang
menyajikan keindahan alam pulau Belitong yang masih awam bagi masyarakat
Indonesia.
Pesan lain yang disampaikan oleh film ini adalah kita akan
menemukan adanya pendidikan berkarakter yang ditanamkan oleh tokoh-tokoh
pembantu dalam film ini. Seperti halnya kejujuran, empati, first
intervention ketika ada yang marah dan tidak mengumbar kesombongan,
karakter-karakter itu akan kita temukan di film ini. Misalnya saja, jujur saat
ditanya oleh guru, jujur ketika ditanya oleh Papin sudah shalat isya atau
belum, dan tidak mengumbar kesombongan karena mendapat prestasi yang baik
dengan memamerkan kepada orang-orang.
Selain itu, film ini juga mampu menyuguhkan potret sistem
pendidikan di Indonesia yang kini memang masih harus dibenahi. Penegakkan
kedisiplinan tidak harus dilakukan dengan cara-cara yang kasar dan bermain
fisik pada siswa-siswa peserta didik. Seharusnya cara seperti itu ditinggalkan
dan itu merupakan cara yang sudah sangat tua. Seharusnya, untuk menegakkan
kedisiplinan pada peserta didik agar lebih giat lagi belajarnya, tentu harus
dengan menggunakan cara yang mengasyikan agar mereka bisa lulus ujian nasional
tahun depan. Selain itu, setiap guru pun harus memahami perkembangan psikologis
di setiap anak didiknya, karena setiap anak didik berbeda karakteristik dan
perkembangannya baik secara fisik maupun psikis.
Sayang, film yang diproduseri oleh Ari Sihasale ini ada sedikit
kekurangan. Misalnya tidak ada eksplorasi yang lebih mendalam pada tokoh Minun.
Cerita tentang Minun menggantungkan penonton yang tidak tahu apa sebenarnya
cita-cita Minun sampai akhirnya ia meninggal.
Film “Serdadu Kumbang” ini bisa menjadi alternatif referensi untuk
menanamkan nilai-nilai pada anak-anak bangsa dan orang tua di tanah air ini
bahwa yang namanya semangat belajar untuk meraih cita-cita itu harus tetap dan
digaungkan dan terus ada. Meski dalam keadaan apapun, meski dalam keterbatasan
apapun.
Teks Ulasan Film
Serdadu Kumbang yang Berasal dari Sumber Lain
Sepertinya wilayah-wilayah jauh dari ibukota
sedang seksi-seksinya dijadikan latar pembuatan film. Tandanya adalah
mencuatnya Laskar Pelangi yang mengambil lokasi di Belitung, pulau yang
tak pernah diimpikan oleh penonton sekalipun untuk jadi lokasi syuting.
Kemudian, muncul beberapa film yang dengan “berani” bertempat di daerah-daerah
jauh. Sebut saja Jermal (2009) dan The Mirror Never Lies (2011).
Masing-masing mengambil lokasi di tengah laut Sumatra Utara dan kepulauan
Wakatobi. Tentu saja ini bukan trend tanpa alasan. Lokasi-lokasi tersebut
dipilih berdasarkan alasan-alasan penting dan kepentingan cerita.
Begitu juga dengan Serdadu Kumbang
(2011). Film garapan Nia dan Ari Sihasale ini mengambil tempat di sebuah desa
kecil bernama Mantar di Sumbawa. Dari tempat yang dipilih, sudah banyak hal
menarik yang bisa dijadikan latar cerita sebenarnya. Dan, film ini memotret
kehidupan masyarakat desa pedalaman Sumbawa dengan baik pula: mulai dari
masyarakat yang belum terlalu peduli pendidikan, bentang alam yang indah, mitos
yang mengakar, hingga kebiasan-kebiasaan masyarakat desa yang unik. Hal-hal
tersebut seharusnya bisa menjadi modal yang lebih dari cukup. Kehadiran
tokoh-tokohnya pun menarik. Contohnya, Amek dengan bibir sumbing, namun tetap
jahil tapi juga cengeng, membuat film ini seolah mengiming-imingi calon
penonton sesuatu yang tak hanya menarik, namun (seharusnya) juga mengharukan.
Film ini bercerita seputaran Amek (Muhammad
Amek), anak laki-laki kelas enam SD berbibir sumbing, yang ditinggal ayahnya ke
Malaysia. Juga, cerita tentang kelas Amek dan kakaknya yang menghadapi ujian.
Bukan cuma itu, ada juga cerita Amek yang tiba-tiba menjadi joki. Ada lagi,
cerita kekerasan yang sering terjadi di sekolah Amek. Ada baiknya sebuah
perusahaan multi nasional juga masuk ke dalam cerita. Atau cerita para orang
tua yang cemas ketika anak-anaknya menghadapi ujian? Atau kegagalan ayah Amek
yang pulang membawa kebohongan dan hutang? Atau soal anak-anak yang belajar
agama? Atau pemberantasan buta huruf? Terus kumbangnya ngapain di sana?
Atau? Atau?
Cerita dalam Serdadu Kumbang memang
banyak sekali, hingga sinopsisnya tak bisa dirangkum dalam satu-dua kalimat.
Tak apa sebenarnya cerita dengan banyak plot atau bahkan banyak karakter. Bisa
ambil contoh dari film-film sejenis, seperti Love Actually atau Eat
Drink Man Woman. Semua karakter memiliki masalahnya masing-masing yang
perlu diselesaikan. Cerita berjalan atau plot berkembang ketika protagonis
berusaha untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Cerita menjadi menarik ketika
banyak antagonis mengahalanginya mencapai tujuannya. Permasalahan di Serdadu
Kumbang adalah tidak adanya gambaran yang cukup tentang apa yang ingin
diraih para protagonis, dan halangan macam apa yang mereka hadapi.
Film ini seolah seperti aktivis LSM yang sedang
jadi turis, yang cerewet mengomentari semuanya, tapi juga ingin tahu semuanya.
Film jadi gagap dengan ceritanya sendiri, hingga tak ada yang benar-benar
mengalir dengan baik. Kesatuan narasi tak lagi terbangun, karena film ini sibuk
ingin memamerkan semua yang bisa tertangkap kamera kepada penonton.
Potongan-potongan kejadian dalam film ini seperti bukan cerita. Kalaupun
cerita, narasinya tak dibangun dengan logika yang baik. Tak ada hal yang
benar-benar menjadi masalah, tak ada juga yang benar-benar selesai. Masalah
kekerasan guru, yang diutamakan dalam film dan beberapa kali diungkit sepanjang
film, tak jelas apa latar belakangnya dan bagaimana resolusinya. Sedang, kakak
Amek yang terkenal pintar dan tanpa konflik dari awal malah mengalami klimaks
tragis, dengan tidak lulus dan akhirnya meninggal jatuh dari pohon (yang tak
terlalu tinggi). Penyelesaiannya bukan pada mengapa ia tidak lulus, namun pada
masalah pohon (yang dipercaya musrik) yang ia naiki.
Ada juga cerita Amek yang tiba-tiba dioperasi
pasca meninggalnya kakaknya. Sedangkan kesumbingan Amek yang tak pernah menjadi
masalah dalam film, tak ada satu adegan pun yang menunjukkan Amek merasa ia
sumbing, atau lingkungan sekitarnya merasa demikian. Amek digambarkan tinggal
di sekeliling orang-orang yang menyayangi dan mendukungnya. Tak ada cukup
alasan untuk ia mengkwatirkan itu, kecuali ketika Amek tak berani mengatakan
apa cita-citanya. Malah hal itu yang menjadi seperti gong besar film ini.
Sehingga, seolah-olah kesumbingan Amek hanya dimanfaatkan untuk mengakomodasi
iklan terbesar dalam film itu: kegiatan corporation social responsibility
(CSR) sebuah perusahaan. Hanya itu.
Bila menilik dari akhir cerita, film ini
berpusat pada tokoh Amek dan cita-citanya. Dalam adegan-adegan di akhir film,
kita baru tahu bahwa Amek ingin menjadi penyiar berita. Logisnya, bibirnya yang
sumbing adalah halangan besar. Namun, bukannya berfokus pada halangan ini,
selama hampir dua jam penonton malah disuguhi banyak masalah lain di sekitaran
Amek. Sialnya, cerita-cerita itu tidak berpengaruh langsung terhadap apa yang
ingin ia capai. Amek yang pernah tidak lulus, Amek yang menjadi joki dengan
kuda kesayangannya, dan Amek yang rindu ayahnya. Belum lagi hingar bingar
masalah orang-orang di sekitarnya malah mengkonsumsi durasi. Penonton tidak
mendapat kesan yang cukup tentang kekurangan fisik Amek, dan malah
menganggapnya plot minor. Kalau saja si pembuat film mau sedikit berfokus pada
hal ini, ceritanya mungkin akan berbeda.
Walhasil, semua cerita dalam film ini hanya
seperti fragmen-fragmen lepas yang tak bisa dihubungkan. Pembuat filmnya
seperti overwhelmed dengan apapun yang ada di sana, dan memaksa semua
itu ada dalam 105 menit durasi film. Kesannya seperti potongan-potongan yang
dibuang sayang, atau adegan-adegan hasil potongan editor yang geli ingin
diselipkan si pembuat film hingga memenuhi credit title.
Seperti film
Alenia sebelumnya, eksplorasi kekayaan alam Indonesia tampil cantik. Sayangnya,
alur yang padat cerita membuat nilai haru sulit didapatkan. Meskipun banyak
nama besar dipasang, namun film ini kurang sedikit menggigit. Pengambilan ide
dari persoalan yang sedang hangat dibicarakan memudahkan penonton larut dalam
cerita.
Sumber
: http://cinemapoetica.com/serdadu-kumbang-potongan-potongan-dibuang-sayang/