Sabtu, 30 Mei 2015

Teks Ulasan Film Serdadu Kumbang

Kasih Sayang, Perjuangan dan Cita-Cita dalam film “Serdadu Kumbang”

Film ini diambil dari beberaps kisah nyata yang ber-setting pendidikan, karakter dan cita-cita anak bangsa. Dengan disutradarai oleh Ari Sihasale dan diperankan oleh Yudi Miftahudin sebagai Amek, pemeran utama yang notabene, Yudi adalah seorang pekerja seni atau pemain film pendatang baru. Film ini mengambil lokasi di daerah Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Film ini bercerita tentang 3 orang anak laki-laki yang berasal dari desa Mantar, yaitu Amek (Yudi Miftahudin), Acan (Fachri Azhari) dan Umbe (Aji Santosa). Mereka semua berusaha keras ingin mengejar cita-cita mereka meski dengan berbagai keterbatasan yang mereka miliki.
Berawal dari kisah nyata yang terjadi tahun lalu, dimana hampir sebagian siswa-siswa SD dan SMP di Indonesia tidak lulus ujian nasional (UN). Berbekal dari pengalaman itu, guru-guru di SD dan SMP 08 semakin memperketat kegiatan belajar mengajar. Tahun lalu, SD dan SMP 08 dianggap sebagai sekolah yang baik karena dari 30 orang siswa yang mengikuti ujian nasional, hanya 8 orang yang tidak lulus. Maka, untuk tahun ini mereka menginginkan anak-anak yang tahun ini mengikuti ujian nasional agar lulus 100 persen. Untuk mencapai targetnya itu, salah satu guru di SD dan SMP 08 yang bernama Bapak Alim yang diperankan oleh Lukman Sardi memperketat aturan dan sistem mengajar. Namun, penegakkan kedisiplinan yang kaku menimbulkan dampat yang kurang baik bagi murid-murid yang masih dalam masa pertumbuhan. Setiap siswa yang datang terlambat, akan dihukum oleh Pak Alim. Push-up, sit-up, mengelilingi lapangan dan jenis-jenis hukuman fisik lainnya dipercaya mampu memberikan kedisiplinan bagi siswa. Alasannya hanya satu, siapa yang tidak mengikuti aturan maka ia harus dihukum.
Amek tinggal bersama kakanya, Minun yang diperankan oleh Monica Sayangbati dan ibunya, Siti yang diperankan oleh Titi Sjuman, di desa Mantar, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Suatu desa yang terletak di puncak bukit, jauh dari perkotaan. Suami Siti, Zakaria (Asrul Dahlan) sudah tiga tahun bekerja di Malaysia tetapi belum juga pulang, apalagi mengirim mereka uang. Suatu hari, ibunya Amek datang ke sekolah Amek dan memanggil Amek untuk membacakan surat yang dikirim oleh ayahnya. Dalam surat itu, terdapat nomor telepon yang dapat dihubungi Amek untuk mengetahui kabar ayahnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk menghubungi ayahnya dengan menukar anak kambing dengan telepon genggam milik salah seorang pamannya. Lalu, ia membeli nomor perdana dan pulsa walaupun ia hanya membeli sebesar Rp 5000,00. Besar pulsa yang pastinya tidak akan cukup untuk menghubungi ayahnya di Malaysia. Selain itu, karena Amek tinggal di sebuah desa yang jauh dari perkotaan, maka tidak aneh jika untuk mendapatkan sinyal untuk menelepon sangat sulit didapatkan. Sehingga, ia harus menunggu sampai larut malam dan akhirnya ia dihukum oleh Pak Alim sebelum ia bisa masuk ke kelasnya.
Sebenarnya Amek anak yang baik, namun sifatnya yang introvert, keras hati dan cenderung jahil membuat ia sering dihukum oleh guru-gurunya. Sebaliknya, Minun kakanya yang duduk di bangku SMP dan selalu juara kelas. Minun juga sering menjuarai perlombaan matematika se-kabupaten. Sederet piala dan sertifikat berjejer di ruang tamu mereka. Minun dikenal sebagai ikon sekolah, kebanggaan keluarga dan masyarakat.
Namun, di sisi lain, kadang Amek juga memperdulikan keadaan sekitarnya. Seperti ketika sebuah kursi guru di runag kelasnya rusak dan saat itu akan diadakan ulangan mata pelajaran Pak Alim namun ditunda lantaran kursinya rusak dan Pak Alim langsung naik darah menghukum murid-muridnya di lapangan dan tidak memperbolehkan mereka mengikuti ulangan sampai ada yang mengakui siapa yang berani-beraninya menukar kursi guru dengan kursi yang telah rusak. Secara tiba-tiba Amek mengakui di depan teman-teman dan guru0-guru yang lain bahwa ia sengaja menukar kursi yang rusak itu menjadi kursi guru. Tak menunggu waktu lama, Pak Alim langsung menghukum Amek di depan lapangan. Ketika Amek ditanya oleh guru-guru yang lain apakah itu benar atau tidak, Amek berkata bahwa ia melakukan ini semua demi teman-teman kelasnya agar bisa mengikuti ulangan Pak Alim.
Di luar desa yang indah dan tertata rapi itu, ada sebuah pohon yang tidak begitu tinggi, namun letaknya persis di bibir tebing menghadap ke laut lepas. Orang kampung sekitar menyebut pohon ini sebagai pohon cita-cita. Pohon itu memang unik karena hampir di setiap dahan diikat dengan tali yang menjulur ke bawah karena ujungnya diberi pemberat. Secarik kertas bertuliskan nama seseorang berikut cita-citanya yang dimasukkan ke dalam botol warna-warnu hingga pohon cita-cita itu terlihat indah.
Amek pun menulis namanya dalam secarik kertas dan menuliskan cita-citanya lalu ia masukkan ke dalam botol. Baru kali ini Amek berani menuliskan cita-citanya sebagai penyiar berita di televisi pada secarik kertas. Hal ini dikarenakan, Amek takut akan cita-citaya. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan kepadanya mengenai cita-citanya tak pernah ia jawab. Ia sadar betul akan kekurangan yang ia miliki telah menjauhkan dirinya dengan cita-citanya.
Minun, peran seorang kakak yang sebaiknya dicontoh. Minun memerankan figure seorang kaka yang natural, yang patut dicontoh karena prestasi dan rasa sayang yang besar kepada Amek, adiknya. Bukan saja karena adiknya itu tidak lulus ujian nasional tahun lalu, lebih dari itu Amek memiliki kekurangan lahir, bibirnya sumbing dan sering dijadikan lelucon oleh teman-temannya. Namun, dibalik sisi penyayang dari seorang Minun, ia juga memiliki hati dan perasaan yang rapuh, terlebih jika masalah akademisnya. Minun terlihat lebih pendiam dan kalem daripada Amek, adiknya. Sampai-sampai, Minun memendam rasa kecewa dan sedihnya sendiri karena ia tidak lulus ujian nasional. Padahal, Minun anak yang pintar dan rajin. Untuk mengobati rasa kecewa dan sedihnya ia datang ke pohon cita-cita. Maksud untuk mengambil cita-cita yang pernah ia gantung disana, tetapi Minun malah terjatuh dari dahan pohon karena ia tak sampai untuk mengambil botolnya karena terlalu tinggi. Sehingga ia langsung terjatuh dan tidak sadarkan diri sampai ia meninggal. Dibalik kekurangannya, Amek, ia mahir berkuda. Hal ini ditunjukkan ketika Amek menjuarai perlombaan berkuda.
Film yang berjudul “Serdadu Kumbang” ini diambil dari sebuah cerita yang terkenal di kalangan anak-anak desan Mantar, Sumbawa yaitu tentang asal-usul darimana kumbang berasal. Awalnya, ada seorang manusia. Seorang anak kecil yang dibuang ke hutan, anak kecil itu berasal dari keluarga kerajaan. Namun, istri raja tidak tahu. Raja sengaja membuang anak kecil itu karena malu. Anak kecil itu cacat bisu. Sama seperti Amek, sebagai pemeran utama yang memiliki kelainan di bagian mulutnya yaitu bibir sumbing. Karena anak kecil itu tak bisa bicara, ia tak tahu arah jalan pulang. Lalu, anak kecil itu berdoa agar dosa-dosa ayahnya yaitu sang raja diampuni dan anak kecil meminta agar ia dipertemukan dengan ibunya. Singkat cerita, anak kecil itu pun langsung berubah menjadi kumbang. Lalu, ia terbang ke istana. Sampai di istana, ia melihat istana habis terbakar. Raja dan prajurit-prajuritnya mati, si kumbang pun terbang mencari ibunya. Ia melihat ibunya sedang dikejar-kejar oleh musuh, lalu anak kecil yang berubah menjadi kumbang itu berdoa agar ibuunya dijauhkan dari jahatnya manusia-manusia. Lalu, ibunya berubah menjadi kupu-kupu. Sejak saat itu, kumbang dan kupu-kupu ada di bumi.
Film ini juga sarat akan makna dan pesan. Disamping ingin mengenalkan mengenai budaya-budaya yang berkembang di Sumbawa, film ini juga mengenalkan daerah lain di Indonesia yang masih belum terjamah, yaitu Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Banyak orang-orang yang belum tahu apa kelebihan dan menjadi ciri khas dari salah satu kota di provinsi Nusa Tenggara Barat ini. Film ini, mengenalkan kepada penonton yang menonton film ini bahwa Sumbawa memiliki kuda Sumbawa yang bisa menghasilkan susu yang bermanfaat bagi manusia. Selain karena faunanya, Sumbawa juga memiliki keindahann alam yang sangat bagus. Sama halnya dengan film “Laskar Pelangi” karya Andrea Hirata yang menyajikan keindahan alam pulau Belitong yang masih awam bagi masyarakat Indonesia.
Pesan lain yang disampaikan oleh film ini adalah kita akan menemukan adanya pendidikan berkarakter yang ditanamkan oleh tokoh-tokoh pembantu dalam film ini. Seperti halnya kejujuran, empati, first intervention ketika ada yang marah dan tidak mengumbar kesombongan, karakter-karakter itu akan kita temukan di film ini. Misalnya saja, jujur saat ditanya oleh guru, jujur ketika ditanya oleh Papin sudah shalat isya atau belum, dan tidak mengumbar kesombongan karena mendapat prestasi yang baik dengan memamerkan kepada orang-orang.
Selain itu, film ini juga mampu menyuguhkan potret sistem pendidikan di Indonesia yang kini memang masih harus dibenahi. Penegakkan kedisiplinan tidak harus dilakukan dengan cara-cara yang kasar dan bermain fisik pada siswa-siswa peserta didik. Seharusnya cara seperti itu ditinggalkan dan itu merupakan cara yang sudah sangat tua. Seharusnya, untuk menegakkan kedisiplinan pada peserta didik agar lebih giat lagi belajarnya, tentu harus dengan menggunakan cara yang mengasyikan agar mereka bisa lulus ujian nasional tahun depan. Selain itu, setiap guru pun harus memahami perkembangan psikologis di setiap anak didiknya, karena setiap anak didik berbeda karakteristik dan perkembangannya baik secara fisik maupun psikis.
Sayang, film yang diproduseri oleh Ari Sihasale ini ada sedikit kekurangan. Misalnya tidak ada eksplorasi yang lebih mendalam pada tokoh Minun. Cerita tentang Minun menggantungkan penonton yang tidak tahu apa sebenarnya cita-cita Minun sampai akhirnya ia meninggal.
Film “Serdadu Kumbang” ini bisa menjadi alternatif referensi untuk menanamkan nilai-nilai pada anak-anak bangsa dan orang tua di tanah air ini bahwa yang namanya semangat belajar untuk meraih cita-cita itu harus tetap dan digaungkan dan terus ada. Meski dalam keadaan apapun, meski dalam keterbatasan apapun.




Teks Ulasan Film Serdadu Kumbang yang Berasal dari Sumber Lain


Sepertinya wilayah-wilayah jauh dari ibukota sedang seksi-seksinya dijadikan latar pembuatan film. Tandanya adalah mencuatnya Laskar Pelangi yang mengambil lokasi di Belitung, pulau yang tak pernah diimpikan oleh penonton sekalipun untuk jadi lokasi syuting. Kemudian, muncul beberapa film yang dengan “berani” bertempat di daerah-daerah jauh. Sebut saja Jermal (2009) dan The Mirror Never Lies (2011). Masing-masing mengambil lokasi di tengah laut Sumatra Utara dan kepulauan Wakatobi. Tentu saja ini bukan trend tanpa alasan. Lokasi-lokasi tersebut dipilih berdasarkan alasan-alasan penting dan kepentingan cerita.
Begitu juga dengan Serdadu Kumbang (2011). Film garapan Nia dan Ari Sihasale ini mengambil tempat di sebuah desa kecil bernama Mantar di Sumbawa. Dari tempat yang dipilih, sudah banyak hal menarik yang bisa dijadikan latar cerita sebenarnya. Dan, film ini memotret kehidupan masyarakat desa pedalaman Sumbawa dengan baik pula: mulai dari masyarakat yang belum terlalu peduli pendidikan, bentang alam yang indah, mitos yang mengakar, hingga kebiasan-kebiasaan masyarakat desa yang unik. Hal-hal tersebut seharusnya bisa menjadi modal yang lebih dari cukup. Kehadiran tokoh-tokohnya pun menarik. Contohnya, Amek dengan bibir sumbing, namun tetap jahil tapi juga cengeng, membuat film ini seolah mengiming-imingi calon penonton sesuatu yang tak hanya menarik, namun (seharusnya) juga mengharukan.
Film ini bercerita seputaran Amek (Muhammad Amek), anak laki-laki kelas enam SD berbibir sumbing, yang ditinggal ayahnya ke Malaysia. Juga, cerita tentang kelas Amek dan kakaknya yang menghadapi ujian. Bukan cuma itu, ada juga cerita Amek yang tiba-tiba menjadi joki. Ada lagi, cerita kekerasan yang sering terjadi di sekolah Amek. Ada baiknya sebuah perusahaan multi nasional juga masuk ke dalam cerita. Atau cerita para orang tua yang cemas ketika anak-anaknya menghadapi ujian? Atau kegagalan ayah Amek yang pulang membawa kebohongan dan hutang? Atau soal anak-anak yang belajar agama? Atau pemberantasan buta huruf? Terus kumbangnya ngapain di sana? Atau? Atau?
Cerita dalam Serdadu Kumbang memang banyak sekali, hingga sinopsisnya tak bisa dirangkum dalam satu-dua kalimat. Tak apa sebenarnya cerita dengan banyak plot atau bahkan banyak karakter. Bisa ambil contoh dari film-film sejenis, seperti Love Actually atau Eat Drink Man Woman. Semua karakter memiliki masalahnya masing-masing yang perlu diselesaikan. Cerita berjalan atau plot berkembang ketika protagonis berusaha untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Cerita menjadi menarik ketika banyak antagonis mengahalanginya mencapai tujuannya. Permasalahan di Serdadu Kumbang adalah tidak adanya gambaran yang cukup tentang apa yang ingin diraih para protagonis, dan halangan macam apa yang mereka hadapi.
Film ini seolah seperti aktivis LSM yang sedang jadi turis, yang cerewet mengomentari semuanya, tapi juga ingin tahu semuanya.  Film jadi gagap dengan ceritanya sendiri, hingga tak ada yang benar-benar mengalir dengan baik. Kesatuan narasi tak lagi terbangun, karena film ini sibuk ingin memamerkan semua yang bisa tertangkap kamera kepada penonton. Potongan-potongan kejadian dalam film ini seperti bukan cerita. Kalaupun cerita, narasinya tak dibangun dengan logika yang baik. Tak ada hal yang benar-benar menjadi masalah, tak ada juga yang benar-benar selesai. Masalah kekerasan guru, yang diutamakan dalam film dan beberapa kali diungkit sepanjang film, tak jelas apa latar belakangnya dan bagaimana resolusinya. Sedang, kakak Amek yang terkenal pintar dan tanpa konflik dari awal malah mengalami klimaks tragis, dengan tidak lulus dan akhirnya meninggal jatuh dari pohon (yang tak terlalu tinggi). Penyelesaiannya bukan pada mengapa ia tidak lulus, namun pada masalah pohon (yang dipercaya musrik) yang ia naiki.
Ada juga cerita Amek yang tiba-tiba dioperasi pasca meninggalnya kakaknya. Sedangkan kesumbingan Amek yang tak pernah menjadi masalah dalam film, tak ada satu adegan pun yang menunjukkan Amek merasa ia sumbing, atau lingkungan sekitarnya merasa demikian. Amek digambarkan tinggal di sekeliling orang-orang yang menyayangi dan mendukungnya. Tak ada cukup alasan untuk ia mengkwatirkan itu, kecuali ketika Amek tak berani mengatakan apa cita-citanya. Malah hal itu yang menjadi seperti gong besar film ini. Sehingga, seolah-olah kesumbingan Amek hanya dimanfaatkan untuk mengakomodasi iklan terbesar dalam film itu: kegiatan corporation social responsibility (CSR) sebuah perusahaan. Hanya itu.
Bila menilik dari akhir cerita, film ini berpusat pada tokoh Amek dan cita-citanya. Dalam adegan-adegan di akhir film, kita baru tahu bahwa Amek ingin menjadi penyiar berita. Logisnya, bibirnya yang sumbing adalah halangan besar. Namun, bukannya berfokus pada halangan ini, selama hampir dua jam penonton malah disuguhi banyak masalah lain di sekitaran Amek. Sialnya, cerita-cerita itu tidak berpengaruh langsung terhadap apa yang ingin ia capai. Amek yang pernah tidak lulus, Amek yang menjadi joki dengan kuda kesayangannya, dan Amek yang rindu ayahnya. Belum lagi hingar bingar masalah orang-orang di sekitarnya malah mengkonsumsi durasi. Penonton tidak mendapat kesan yang cukup tentang kekurangan fisik Amek, dan malah menganggapnya plot minor. Kalau saja si pembuat film mau sedikit berfokus pada hal ini, ceritanya mungkin akan berbeda.
Walhasil, semua cerita dalam film ini hanya seperti fragmen-fragmen lepas yang tak bisa dihubungkan. Pembuat filmnya seperti overwhelmed dengan apapun yang ada di sana, dan memaksa semua itu ada dalam 105 menit durasi film. Kesannya seperti potongan-potongan yang dibuang sayang, atau adegan-adegan hasil potongan editor yang geli ingin diselipkan si pembuat film hingga memenuhi credit title.
Seperti film Alenia sebelumnya, eksplorasi kekayaan alam Indonesia tampil cantik. Sayangnya, alur yang padat cerita membuat nilai haru sulit didapatkan. Meskipun banyak nama besar dipasang, namun film ini kurang sedikit menggigit. Pengambilan ide dari persoalan yang sedang hangat dibicarakan memudahkan penonton larut dalam cerita.
Sumber : http://cinemapoetica.com/serdadu-kumbang-potongan-potongan-dibuang-sayang/


Teks Cerpen

Tiga Puluh Menit

(Karya : Baby Yolinda)


Mungkin kamu berpikir mengubah dirimu adalah suatu hal yang mudah, ya, semudah membalikan telapak tangan. Mungkin kamu berpikir itu adalah suatu hal yang mudah tetapi pada kenyataannya, tidak. Mengubah diri menjadi orang lain, seseorang yang masuk akal dan seseorang yang di “terima” oleh orang lain. Apa kamu mengganti cara berpakaian, gaya rambut, atau bahkan riasan wajahmu? Lakukanlah hal tersebut. Potong ponimu, belilah tas baru, ubah caramu berbicara. Mereka akan tetap melihatmu layaknya kamu sebelumnya, melihatmu sebagai seseorang yang penuh dengan ketakutan, seseorang yang selalu kalah dan salah. Kiku tahu itu, ia pernah mencobanya. Jika saja ia bisa memutar balik waktu, ia akan mencari dirinya dan berkata pada dirinya sendiri “Dengar Kiku, jangan kau pakai jaket rumbai-rumbai berwarna merah menyala itu. Aku tahu lebih dari apapun bahwa kau menyukainya karena jaket itu terlihat keren tapi jangan lakukan itu. Jangan menjadi spesial.”
Siang itu adalah siang pertama kali Kiku menginjakan kaki di kantin sekolah. Dia tidak ingin menyerah kali ini dan dia akan menggunakan waktu istirahat tiga puluh menitnya untuk menemukan teman baru. Kiku melihat Neta duduk di dekat jendela bersama teman-temannya. Kiku merasa jika ada orang yang bisa berteman dengannya, maka Neta-lah orang yang tepat. Ia memberanikan diri menghampiri Neta, dan memaksa dirinya untuk berbicara, suaranya terdengar nyaring “Boleh aku ikut duduk disini?”
Neta dan teman-temannya berhenti melakukan aktivitas mereka masing-masing, dan tidak ada yang berbicara hingga Neta memecah kesunyian dengan berkata “Boleh” Kiku menghela napas dengan lega. Jika Neta sama sekali tidak berbicara, mungkin Kiku bisa menjatuhkan bekalnya dan lari meninggalkan kantin. Neta dan keempat temannya bergeser, memberikan ruang untuk Kiku duduk. Jadi, berteman itu merupakan suatu hal yang sangat mudah? Kiku mengamati teman-teman barunya, melihat mereka satu per satu.
Tentu saja berteman itu tidak mudah, Kiku bodoh. Neta dan kawan-kawannya kembali melanjutkan perbincangan mereka yang sebelumnya terpotong dengan kedatangan Kiku, mereka menghiraukannya.
“Jadi, kemarin kamu pergi ke Bali? Apakah kamu benar-benar melihat Cameron Dallas disana?” salah satu teman Neta berkata
“Ya, aku hanya melihatnya sekilas tapi aku yakin itu dia” jawab teman Neta yang duduk di sebelah Kiku.
“Mengapa kamu tidak menghampirinya? Itu kan kesempatan emas!” Timpal temannya yang lain
Kiku mencoba untuk mengerti apa yang sedang mereka bicarakan, Kiku tertawa jika mereka tertawa, Kiku tersenyum jika salah satu dari mereka ada yang tersenyum saat mendengarkan Neta berbicara. Kiku sering berpikir bahwa pertemanan adalah suatu hal yang aneh, bagaimana ia bisa berteman secara tiba-tiba? Di saat Neta dan teman-temannya memiliki pengalaman yang cukup lama bersama, sedangkan Kiku? Tentu Kiku tidak bisa mengharapkan mereka untuk menjelaskan apa yang sedang mereka bicarakan.
“Kiku” salah satu teman Neta yang duduk di depannya menunjuknya
“Ya?” mata Kiku berbinar, mungkin ia akan menanyakan pendapat Kiku mengenai baju yang harus ia pakai untuk acara ulang tahun kakaknya, mungkin ia akan menanyakan apa kegemaran Kiku.
“Kiku” dia mengucapkan namanya lagi “Bersihkan semua ini”
Kemudian bel masuk pun berdering, Neta dan teman-temannya berdiri secara bersamaan dan meninggalkannya bersama kaleng-kaleng minuman, dan beberapa bungkus makanan ringan di meja.
Kiku terdiam, ia tetap duduk di bangkunya. Neta mendekatinya ketika teman-temannya sudah berjalan beberapa meter darinya “Kami selalu melakukan hal ini” dia berkata dengan nada menyesal “Orang yang terakhir meletakkan jarinya di hidung harus membersihkan sisa makanan. Jadi, untuk hari ini, kamu yang harus membersihkan meja” Neta berkata untuk yang terakhir kalinya, kemudian ia meninggalkan Kiku. Seharusnya Kiku berkata “Kalian memiliki peraturan yang aneh” atau “Oh, tapi aku tidak tahu kalau kalian memiliki aturan seperti itu” Kiku bisa berkata apa saja, tetapi semua sudah terlambat, tidak ada pilihan lain selain membersihkan sampah-sampah makanan milik Neta dan teman-temannya. Saat Kiku meraup bubuk-bubuk makanan ringan, ia menyadari bahwa tidak akan ada yang berubah dari Kiku, sebagaimanapun ia bekerja keras untuk menjalin pertemanan dengan siapapun, tidak akan ada yang berubah darinya. Mungkin Kiku bisa membeli sepatu baru, membeli celana jeans baru, atau menggunakan mobil untuk pergi ke sekolah tetapi Kiku adalah Kiku.
Ia ingat, saat duduk di kelas 4 SD, ia memillih untuk mengambil kelas tambahan teater. Kiku sangat menyukainya ketika ia harus bersandiwara, dan kelas teater membuka kesempatan bagi Kiku untuk bersandiwara seraya orang-orang memperhatikannya. Suatu ketika, setelah latihan untuk penampilan di akhir tahun, bu Erni (pembimbing kelas teater) mengadakan permainan dimana setiap orang harus menyebutkan tempat yang mereka ingin kunjungi di masa depan. Izzi berkata “Izzi mau ke Dufan!”  kemudian dilanjutkan oleh anak disebelahnya, permainan tersebut terus berlangsung hingga giliran Kiku tiba. Kiku pun berkata “Aku ingin ke Jokulsarlon, Iceland” Kiku merasa dirinya tidak melanggar aturan permainan tetapi semua orang menertawakannya dan menyebutnya “Jokulsarlon Kiku” selama tiga hari. Hal tersebut bukanlah hal yang buruk, pikir Kiku. Jokulsarlon adalah daerah yang bagus untuk melihat Aurora Borealis. Tetapi, entah kenapa setiap kali teman-temannya memanggilnya “Jokulsarlon Kiku” ia merasa bahwa “Jokulsarlon Kiku” bukanlah pujian, dan itu membuat Kiku bingung.
Pada akhirnya, Kiku menceritakan kejadian tersebut kepada ayahnya. Kiku menangis dan berulang kali mengatakan “Kenapa?”
“Mereka hanya meledekmu karena mereka cemburu” Ayahnya tersenyum seraya mengelus rambut anak semata wayangnya itu.
“Kenapa mereka begitu?” Kiku terisak. Apa mereka cemburu karena Kiku tahu Jokulsarlon sedangkan mereka tidak?
“Mereka cemburu karena kamu pintar Kiku. Kamu berbakat dan kamu tahu siapa dirimu”
Kiku berhenti menangis. Kata-kata yang diucapkan ayahnya berdengung di otaknya, mengisinya. Kiku pintar, dan Kiku berbakat. Kiku tahu dan mengerti dengan baik siapa dirinya.
Semenjak saat itu Kiku berhenti dari kelas teater. Dia memilih mengikuti kelas tambahan membaca. Tak banyak yang memilih kelas membaca, tetapi setidaknya ia merasa lebih baik diantara buku-buku dibandingkan diantara orang-orang. Tak lama dari kejadian di kelas teater, ada gadis baru yang pindah dari luar kota. Kiku dan gadis itu sering duduk bersama ketika jam istirahat. Ketika anak-anak lain bermain benteng-bentengan, mereka berdua membicarakan mengenai film pertama Harry Potter. Kemudian, Izzi menghampiri mereka dan dengan santai berkata “Jangan menghabiskan waktumu terlalu banyak dengan Kiku. Dia menular” Kiku hanya terdiam membatu. Berapa banyak pun cara yang Kiku coba untuk berteman dengan anak baru, hal tersebut tidak membuahkan hasil yang berarti. Entah kenapa, setiap anak baru, seluruh anak baru, cepat atau lambat mereka menemukan sesuatu tentang Kiku yang membuatnya dijauhi oleh orang-orang dan ya....gadis itu pun meninggalkannnya.

Mungkin kamu berpikir mengubah dirimu adalah suatu hal yang mudah, ya, semudah membalikan telapak tangan. Mungkin kamu berpikir itu adalah suatu hal yang mudah tetapi pada kenyataannya, tidak. Mengubah diri menjadi orang lain, seseorang yang masuk akal dan seseorang yang di “terima” oleh orang lain. Setelah istirahat tiga puluh menit berakhir, Kiku memutuskan bahwa hal logis selanjutnya yang ia harus lakukan adalah: bunuh diri.
Cerpen Pengamalan hidup

Arti Kehidupan
(Karya : Gregorius Yudistira)

            Seringkali aku terdiam, terbesit di benakku gambaran perjalanan hidupku. Seperti terlukis di sebuah kanvas oleh sang maestro, akhirnya hidupku kujalani bak air mengalir tenang seperti sungai yang mengalir tanpa hambatan. Semuanya itu berjalan seperti apa adanya. Saya lahir di Lampung 75 tahun yang lalu, Bambang Mustari Sadino adalah nama pemberian orang tuaku, yang mengandung sejuta arti, makna, dan latar belakang yang segalanya bertujuan agar kelak nantinya aku akan menjadi orang yang sukses menggapai segala impianku. Bob Sadino, begitulah orang lain lebih akrab menyebut namaku. Semenjak aku menjalani kehidupan yang baru. Hingga aku dapat menanggapai anganku menjadi pengusaha sukses seperti sekarang ini. Sering kali aku ingat kembali, rasanya hal itu mustahil akan terjadi dalam kehidupanku. Hingga suatu saat ku berfikir bagaimana nasibku jika waktu itu aku tak mengubah pandangan hidupku. Mungkin aku tak akan pernah menjadi orang. Orang yang dipandang masyarakat luas.
            Saya termasuk anak yang sangat beruntung karena saya terlahir dari keluarga yang hidup berkecukupan. Hampir tak ada kesulitan yang berarti bagiku, seakan tak ada dan tak pernah mengguratkan stres. Aku dilahirkan sebagai anak bungsu dari lima bersaudara. Semua kasih sayang dan perhatian tertumpah kepadaku, baik dari kedua orang tuaku maupun dari keempat kakakku. Cukup mudah bagiku untuk mendapatkan sagala sesuatu yang aku inginkan, dikala anak-anak lain seusiaku harus hidup susah membantu orang tua guna mengais rejeki demi sesuap nasi. Sulitnya anak-anak yang seumurku memperoleh hak pendidikan karena keadaan ekeonomi orang tua mereka yang hanya pas-pasan, untuk mengisi perut, sekedar menahan bunyi keroncongan agar berhenti. Sedangkan kedua orang tuaku mampu membekali diriku dengan ilmu, hingga aku mencapai jenjeng pendidikan yang lumayan tinggi pada zaman itu.
            Dewi Fortuna seakan enggan berlama-lama menyertaiku. Di usiaku yang saat itu belum genap dua puluh tahun, sang Maha Pencipta berkenan memanggil kedua orang tuaku. Banyak orang berkata bahwa masa-masa Sekolah Menengah Atas adalah masa-masa yang paling indah bagi para bujangan sepertiku. Namun perkataan orang-orang itu, entah mengapa hal itu menjauhiku dan yang berlaku sebaliknya dalam hidupku. Bagai atap rumah patah penyangganya, kehidupanku yang berlimpah materi, dari warisan kedua orang tuaku membuat diriku salah arah. Aku berfikir hartaku banyak, buat apa aku berdiam diri di rumah, sedangkan di luar sana banyak tempat-tempat yang belum pernah aku kunjungi. Hanya mataku yang telah dimanjakan melalui kotak yang ada di ruang keluargaku yang selalu memberikan informasi dari dunia luar, serta kicauan dari teman-teman sekolahku atau relasi bisnis kedua orang tuaku. Aku baru tahu bahwa belahan dunia di luar sana begitu sayang untuk terlewatkan. Bagai burung lepas dari sangkarnya, aku berkelana mengejar kepuasan hidup semata, berbekal harta warisan peninggalan kedua orang tuaku, aku menikmati indahnya dunia. Aku memanjakan diri dengan berjalan-jalan ke negeri orang, hampir semua yang aku lihat di tevisi dan media cetak lainnya bisa aku kunjungi. Eloknya semua pemandangan dan adanya dana, aku semakin bergairah mencari tempat yang pernah ku dengar dari mereka semua yang pernah secara langsung menyaksikannya ke sana. Pemandangan yang indah, hijaunya pepohonan, dipadu birunya langit yang membias cantik ke permukaan air yang tenang dan bening bagai kaca. Untaian air terjun yang merambat menuruni tebing terjal menampilkan buih-buih yang menawan, ketika butiran airnya menyentuh permukaan danau.
            Tak terasa simpanan depositoku makin lama makin terkikis hingga tersisa setengahnya. Aku mulai berfikir, “Gimana kalau aku gak bisa cari uang”, sedangkan tabungan menipis semakin lama semakin habis. Kebiasaan ku yang dapat dibilang buruk, berbuah penyesalan yang mendalam. Kesenangan ku untuk menghamburkan uang demi memanjakan diri lewat rekreasi, berbuah kesesakan. Lambat laun pikiranku berbalik arah, aku harus bisa cari uang. Tetapi bisa apa aku? Sementara hidupku di negeri orang, jauh saudara, teman tak punya. Di Negeri Kincir Angin itulah aku mulai bekerja, di sinilah awal mula aku mulai berdikari. Tak terbayangkan sulitnnya mencari uang. Selama ini aku selalu berlimpah rupiah, tanpa harus banting tulang, kini aku harus bekerja demi mempertahankan kehidupanku ini. Disaat aku mulai merasakan jerih payah hasil cucuran keringatku sendiri, disaat yang sama itulah aku mulai merasakan arti sebuah kesepian. Mungkin inilah garis hidupku, aku dipertemukan dengan seorang gadis asli Indonesia yang bekerja di Belanda. Soelami Soejoed, itulah namanya. Gadis cantik, tinggi semampai, berkulit sawo matang, ciri khas warna kulit gadis dari negeri asalku, Indonesia tercinta. Tidak hanya dari fisiknya yang membuat aku terpesona, tetapi tutur kata yang lembut, bahasanya yang halus, dikemas dengan indah oleh kecerdasannya yang luar biasa, serta wawasannya yang luas. Waktu berjam-jam tak akan terasa bila aku asik terbawa suasana saat bercengkrama dengannya. Pola pikirnya yang matang membawaku semakin mantap menentukan pilihanku padanya, untuk mengisi lembaran baru kehidupanku dalam berumah tangga.
            Hari-hari yang tadinya ku lewati dengan rutinitas kerjaku di Djakarta Lylod, kini aku semakin bergairah untuk menyongsong hari esok. Seperti suasana hatiku langit pun cerah menudungi bumi, hangatnya matahari semakin menusuk tat kala siang semakin terik. Kini semua tak kurasakan, semua tak membuatku malas, karena di rumah telah menunggu keluarga kecilku. Tak terasa sembilan tahun sudah aku bekerja di Negeri Kincir Angin, dan juga di Jerman tepatnya di Kota Amsterdam. Bercengkrama dengan hiruk pikuknya para pekerja di sana, berharap hidup ini tak sia-sia. Keinginan pulangku ke negara asalku Indonesia semakin kuat. Didampingin interiku tercinta, beserta anak-anakku semakin bulat tekadku ingin pulang ke negeri dimana aku dilahirkan dan dibesarkan.
            Pada tahun 1967 aku beserta keluargaku kembali ke Indonesia. Sekalipun hartaku tak lagi banyak, hanya dua Mercedes keluaran tahun 1960an yang ikut menyertai kepindahanku. Tidak lama kemudian salah satu mobilku harus ku jual, guna membeli sebidang tanah, dimana aku beserta keluargaku akan tinggal, yaitu di Kemang, Jakarta Selatan. Pengalaman kerja di negeri orang dan tuntutan ekonomi keluargaku semakin membulatkan tekadku untuk bekerja secara mandiri. Akhirnya aku keluar dari perusahaan dan memulai membuka usaha penyewaan mobil, yang hanya sisa satu-satunya yang aku miliki. Dan aku pun sekaligus bekerja sebagai supir bagi orang yang menyewa mobilku. Memang tidak besar penghasilanku dari menyewakan sekaligus menjadi supir, jika dibandingkan dengan banyaknya hartaku yang ku miliki dahulu, tetapi itu semua mampu menopang ekonomi keluargaku. Tetapi itu semua tak berjalan mulus seperti cita-citaku pada waktu aku menyatakan diri tuk keluar dari perusahaan, dan ingin berwiraswasta. Hari itu tak ada firasat apapun yang timbul dalam benakku, ketika aku membawa mobil untuk mengantar seseorang. Seperti biasa aku duduk di depan kemudi tuk mengantar temanku. Karena terburu-buru mobil ku bawa amat kencang ban mobil sampai berderit-derit setiap kali meluncur melewati tikungan tajam yang berbahaya. Sebelum mobilku memasuki jalan tol mesinnya menderu-deru dengan ganasnya tat kala sepedometer melampaui angka seratus dua puluh. Terbesit di benakku, inikah namanya pembalap, saling berkejar-kejaran tetapi berhenti saat sampai di finish. Tiba-tiba kurasakan gelap gulita, keheningan menyelimuti suasana yang mencekam. Mungkin baru sekali ini aku merasakan sakit, sedih, sesal, dan khawatir yang amat sangat bercampur aduk menjadi satu. Kesadaranku mulai pulih kembali, perlahan-lahan mataku terbuka, berribu-ribu pertanyaan berkecambuk di dalam pikiranku , dimanakah aku? Aku kenapa? Ada kejadian apa yang menimpa ku? Megapa aku disini? Pelan-pelan satu demi satu semua pertanya itu terjawab. Kesedihanku bertambah saat ku ingat peritiwa terakhir sebelum akhirnya aku tergoler tak berdaya bak bayi baru lahir di rumah sakit. Aduh... mobilku, gimana keadanannya? Mobilku yang satu-satunya tersisa yang aku miliki sebagai sumber matapencaharianku. Mobilku yang selalu setia mendampingiku disaat aku mengumpulkan selembar demi selembar rupiah dalam dompetku tergolek rusak amat parah dan tidak mungkin lagi dapat memanjakan pelangganku sampai ke tempat yang dituju. Sulitnya hidup kembali amat ku rasakan, apalagi keluarga besarku, biaya pendidikan anakku dan kebutuhan hidup membuatku untuk harus selalu siap bekerja menjadi apapun.
            Kuli bangunan menjadi profesi baruku, yang pada masa itu sangat ngetrend di kalangan tetanggaku. Kala itu tetanggaku banyak yang bekerja di bangunan, ada yang menjadi tukang batu, ada juga yang menjadi tukang kayu, selain itu ada yang hanya menjadi laden tukang, atau kita biasa memanggilnya kenk tukang, yaitu orang yang membantu pekerjaan tukang kayu dan tukang batu. Disinilah aku menggantungkan hidupku, dengan gaji seratus rupiah sebagai ganti upah kerja kerasku. Sekalipun aku hanya bekerja di bangunan, tetapi aku bahagia karena isteri dan anak-anakku menerima apa adanya. Meskipun terkadang perih kurasakan ketika upah seratus rupiah hanya numpang lewat di dompetku, tak jarang belum tiba waktunya gajian berikutnya, isteriku sudah laporan untuk keperluan ini dan itu yang belum dibayar. Tetapi mereka selalu memaklumi keadaan ekonomi keluarga kami, hingga suatu hari, di tengah membengkaknya tuntutan kebutuhan sehari-hari dan biaya pendidikan yang tak jarang membuatku pusing tujuh keliling.
            Teman lama ku yang berada di Belanda memberiku saran agar aku mencoba dan berbisnis telur ayam negeri. Hal itu patut ku coba terutama mengingat depresi yang mendalam yang akibat segala hambatan dan tantangan hidup yang ku alami selama ini, dan aku tak bisa tinggal diam saja untuk menunggu keterpurukanku semakin menjadi-jadi dan berbuah keputus asaan yang mendalam. Ucapan semangat dan motivasi yang selalu diberikan oleh anak dan isteriku membuat ku selalu tegar, dan semakin bersemangat untuk bangkit dan memperjuangkan kemerdekaan dari belenggu depresi yang meluka mendalam dalam seluruh tubuhku. Dengan sekuat tenaga aku berusaha mencari tambahan modal dengan cara mengetuk hati teman-temanku agar rela meminjamkan uangnya kepadaku. Dan dari situlah akhirnya aku mulai mengawali bisnisku dengan mengembangkan usaha peternakan ayam negeri. Apalagi waktu itu ayam kampung masih mendominasi pasar Indonesia, hal itu sama sekali tak membuat semangatku yang telah berkobar itu menghilang, namun semakin menambah motivasiku untuk lebih kerja keras. Dan akulah yang pertama kali memperkenalkan ayam negeri beserta telurnya ke Indonesia. Dari pintu ke pintu aku tawarkan telur ayamku. Memang tak mudah bagiku sebagai pendatang baru untuk hanya sekedar mencari pelanggan.
            “Telur... telur.. Pak, Bu, mau coba telur ayam negeri? Ini baru lho di Indonesia!” begitulah aku menjajakan telur ayam negeriku berkeliling kampung.
            Sekalipun hanya bisa masuk ke kalangan tertentu yaitu ekspatriat-ekspatriat yang tinggal di daerah Kemang, dan orang-orang Indonesia yang pernah bekerja di luar negeri, toh akhirnya seiring dengan berjalannya waktu, telur ayam negeriku mulai dikenal oleh masyarakat, dan tak jarang juga ada orang yang selalu membeli telur ayam negeriku dan mau menjadi langgananku, sehingga bisnisku semakin berkembang. Apa lagi masyarakat mulai mengenal daging ayam negeri. Selain itu bisnisku merambah di bidang sayuran, dengan penanaman atau peladangan sistem hidroponik yang dulunya ku pelajari kala ku berada di Belanda dan Jerman. Kini jerih payahku membuahkan hasil yang memuaskan dan menggembirakan.

            Tak habis-habisnya ide-ide bisnis yang selalu muncul dan terlintas dalam benakku, namun tak ada yang sempurna di dunia ini, aku pun menyadari keterbatasan yang ku miliki sehingga aku tak dapat mewujud nyatakan semua ide-ide bisnisku itu. Namun aku selalu bersyukur dan meminta pertolongan Tuhan Yang Maha Esa dalam setiap hiluk pikuk perjalanan kehidupanku, agar kemudahan dan keberhasilan selalu menyertai segala usahaku. Jangan sesali satu haripun dalam hidupmu. Kenanglah hari baik yang telah memberimu kebahagiaan, dan hari buruk yang berimu pengalaman. Hidup ini memang sulit, apa yang kamu inginkan tak akan selalu kamu dapatkan, namun jangan pernah menyerah. Berusaha dan berdoa. Jalani kehidupan dengan penuh kesungguhan, hadapi kenyataan dengan penuh kesabaran. Maka apa yang akan kita dapat adalah kebahagiaan. Tapi berdoa, bukan karena kamu membutuhkan sesuatu, tapi karena kamu harus bersyukur atas apa yang telah Tuhan berikan dalam hidupmu. Tak peduli apa yang terjadi dalam hidupmu, baik atau pun buruk, percayalah itu semua dari Tuhan tuk kebaikan dirimu. Kadang Tuhan memberi cobaan yang berat dalam hidupmu, karena Dia mempersiapkan dirimu menerima sesuatu yang baik di masa depanmu.
TEKS ULASAN FILM “ADA APA DENGAN CINTA?”

Arti Cinta Dalam “Ada Apa Dengan Cinta?”

Sinopsis 
Film bertema cinta dengan kategori remaja alias teen romance di Indonesia saat ini sudah banyak tercipta dari para seniman hebat di bidang perfilman Indonesia. Hanya saja, berbicara mengenai film cinta remaja di Indonesia tak lengkap rasanya kalau kita tidak membahas film “Ada Apa Dengan Cinta?” atau biasa disingkat AADC. Pasalnya, ditengah kebobrokan perfilman Indonesia di era 90an, AADC hadir menjadi sebuah tonggak kebangkitan serta berdirinya era baru perfilman Indonesia di awal 2000-an. Bahkan bisa dibilang AADC merupakan pelopor menjamurnya film remaja saat ini. Banyak yang berpendapat hadirnya film AADC membuat perfilman Indonesia lebih berwarna dengan makin banyaknya sutradara yang berani keluar jalur dengan mengambil beberapa genre.
“Ada Apa dengan Cinta?” Di sutradarai Rudi Soedjarwo dan diproduseri oleh  Riri Riza dan Mira Lesmana serta didistribusikan oleh Miles Production. Film ini dirilis di berbagai negara seperti kawasan Asia Tenggara hingga Amerika dan Jepang. Judul lain dari film ini adalah What’s Up With Love? (Inggris) dan Ganbare, Ai (Jepang). Film ini menceritakan sosok Cinta (Dian Sastrowardoyo) dalam menghadapi permasalahannya baik itu kisah cintanya bersama Rangga (Nicholas Saputra) ataupun kisah persahabatan dengan geng nya yang beranggotakan Alya (Ladya Cheryl), Karmen (Adinia Wirasti), Maura (Titi Kamal), dan Milly (Sissy Priscilla).
Berawal dari puisi berakhir pada kisah cinta. Kisah cinta Rangga dan Cinta dimulai pada pengumuman pemenang lomba puisi di sekolah. Cinta yang merupakan langganan juara lomba puisi dikejutkan oleh seseorang bernama Rangga yang merupakan juara baru. Cinta yang terkejut pun mulai penasaran dengan karya ciptaan Rangga. Puisi yang ditulis Rangga dibacanya terus-menerus dan mencoba memahami makna kata-katanya. Cinta yang terkagum dengan puisi itu pun akhirnya menjadi heran, mengapa seseorang yang berbakat sepertinya baru muncul kali ini, kemana sajakah dia selama ini? Cinta yang merupakan pengurus mading bersama teman-teman gengnya mencoba untuk mewawancarai Rangga, karena agenda dari mading tersebut harus menyertakan profil sang pemenang untuk ditampilkan di mading. Disinilah cerita cinta itu terjalin.
Rangga yang mempunyai watak pendiam, penyendiri, dan juga serius ternyata tidak pernah mendaftarkan diri untuk lomba puisi tersebut. Puisi itu justru didaftarkan oleh Pak Wardiman, satpam sekolah yang menjadi satu-satunya teman Rangga di sekolah. Sosoknya yang penyendiri membuatnya kurang ramah terhadap orang lain. Cinta pun menjadi korban ketidakramahan Rangga. Cinta yang mencoba mewawancarai Rangga di perpustakaan sekolah pada akhirnya justru saling cekcok karena ketidaksediaan Rangga diwawancarai. Kesan pertama yang tidak menyenangkan itu membuat Cinta merasa jengkel, tapi dia tertarik dengan buku klasik yang dipegangnya dengan judul AKU karya Sjumandjaya. Ketertarikan mereka berdua mengenai sastra lah yang menjadi dasar pembentukan chemistry pada film ini. Selanjutnya, bumbu-bumbu cinta mulai hadir diantara mereka seiring dengan berkurangnya ketegangan yang sempat ditimbulkan pada kesan pertama. Awal membaiknya hubungan mereka dimulai ketika buku AKU yang terjatuh sewaktu Cinta dan Rangga kembali bersitegang. Buku tersebut kemudian dikembalikan oleh Cinta setelah sebelumnya dibaca dan di photocopy. Meskipun masih sering bersitegang, tapi kekaguman Cinta akan Rangga yang unik dan juga rasa simpatinya perlahan-lahan membentuk perasaan cinta.
Sayangnya kisah cinta mereka tidak berjalan mulus karena persahabatan Cinta. Momen Rangga selalu tidak tepat, setiap kali hubungan Rangga dan Cinta makin dekat selalu ada permasalahan yang terjadi dengan sahabat-sahabatnya. Kesibukan Cinta pada Rangga membuat perhatian kepada para sahabatnya berkurang. Hingga puncaknya ketika Alya yang memiliki permasalahan karena pertengkaran orang tuanya, ia mencoba bunuh diri setelah sebelumnya meminta pertolongan kepada Cinta. Hanya saja saat itu Cinta sudah membuat janji dengan Rangga. Kejadian itu membuat Cinta shock berat dan depresi bahkan menyalahkan semuanya pada Rangga. Hasilnya hubungan Cinta dan Rangga semakin memburuk. Rangga yang tidak tahu menahu urusan Cinta pun menjadi kecewa berat. Cinta disatu sisi merasa bersalah kepada Rangga, disatu sisi wataknya yang terlalu lebih mementingkan teman-temannya dibanding kepentingan pribadi membuatnya bimbang. Apa yang dipilih Cinta? Persahabatan atau cinta? Akan lebih baik kalau tidak mengorbankan salah satunya.
Jika kita menonton film ini di era sekarang mungkin kita akan menganggap film ini biasa, belum lagi adegan-adegan yang sangat “pasaran” saat ini. Tapi jangan salah, di zamannya film ini justru dianggap sesuatu yang baru, bahkan film saat ini banyak yang terinspirasi dari film “Ada Apa Dengan Cinta” (AADC). Pada zamannya, film ini dianggap sangat menggambarkan realitas remaja saat itu. Jadi, jika dianggap biasa memang karena film ini mengangkat hal yang biasa terjadi pada masyarakat. Mengenai adegan “pasaran”, justru AADC adalah pelopor adegan-adegan itu seperti misalnya menempelkan jari telunjuk ke bibir lawan mainnya dan juga adegan perpisahan dramatis di bandara.
Ada beberapa hal yang membuat film ini layak tonton dan juga memiliki nilai lebih dibanding film teen-romance lain bahkan hingga saat ini. Film ini tidak hanya fokus pada kisah cinta layaknya film saat ini yang tidak ada bedanya dengan FTV. Film ini sukses mengambil sudut pandang lain mengenai sisi positif remaja seperti kesukaan Cinta dan Rangga terhadap dunia sastra, sehingga ada informasi mengenai dunia sastra yang dapat dibagikan kepada penonton. Selain itu konflik yang ada pun bisa dikatakan sebagai suatu kritik, contohnya kasus Alya yang mengkritik para orang tua dan juga konflik ayahnya Rangga yang menyentil pemerintah khususnya Orde Baru.
Mengenai teknis dari film ini, kemampuan sang sutradara menyusun konflik cukup baik dan terasa pas. Jika melihat zaman saat itu dibandingkan dengan penilaian sekarang rasanya bisa dikatakan serba biasa. Sementara dari segi musik, Melly Goeslow dan Anto Hoed sukses membangun suasana dalam film bahkan soundtrack-nya pun melejit di tangga lagu Indonesia. Hanya saja kami merasa ada bagian yang kurang pada pengembangan karakter Rangga. Nicholas Saputra memang sukses memerankan tokoh yang pendiam, dingin, penyuka sastra klasik, dan juga tidak suka terhadap keramaian. Hanya saja pengembangan karakter Rangga terhadap hadirnya sosok Cinta serta bagaimana sosok Rangga sebenarnya belum bisa digambarkan dengan baik oleh sang sutradara. Beda halnya dengan Cinta, Dian Sastro sukses memerankan cewek yang cukup populer, intelek, percaya diri, dan mengagumi sastra. Mengenai pengembangan karakter pun sang sutradara berhasil menyajikan metamorfosis karakternya, sementara masalah akting Dian Sastro meski tidak bisa dibilang sempurna tapi cukup berhasil.
Sayang, masih belum dapat dipahami mengenai arti dari kata ‘Cinta’ dalam judul film tersebut. Banyak orang yang dibuat bingung karenanya. Pasalnya nama tokoh utama dalam film tersebut adalah Cinta, sehingga timbul pertanyaan apakah yang dimaksud dengan kata ‘Cinta’ dalam judul itu adalah tokoh Cinta ataukah cinta dalam arti sebenarnya? Sehingga seharusnya film tersebut dapat memberikan penjelasan mengenai arti kata ‘Cinta’ dalam judul film tersebut. Selain itu penonton masih belum menangkap keselarasan antara judul film dengan isi ceritanya.
Dari paparan tadi dapat disimpulkan bahwa film ini merupakan salah satu masterpiece karya anak bangsa. Menurut kami film ini bukanlah film terbaik negeri ini, bukan pula film kategori remaja terbaik karena statusnya sudah digeser oleh seniman-seniman film selanjutnya. Hanya saja film ini masih bisa dikatakan sebagai film teen romance terbaik Indonesia karena kami belum melihat ada film cinta remaja yang mempunyai konflik yang cukup selaras untuk dipadukan dengan konflik utama seperti yang dilakukan AADC.


Ulasan Film “Ada Apa Dengan Cinta?”
“Karena aku ingin kamu. Itu saja.” Untaian kata-kata polos tersebut dengan manis membalut sebuah cerita penuh liku mengenai cinta. Memang hebat, hanya dalam 112 menit ‘Ada Apa Dengan Cinta?’ (AADC) telah berhasil mengulas semua aspek percintaan, sekaligus mengemasnya lewat sudut pandang seorang Cinta (Dian Sastrowardoyo). Seperti gadis remaja manapun, kehidupan Cinta diwarnai oleh kegilaan-kegilaan yang dikemas dalam persahabatan kentalnya dengan Maura (Titi Kamal), Alya (Ladya Cheryl), Milly (Sissy Priscilla) dan Carmen (Adina Wirasati). Cinta juga hidup disayang sebagai anak semata wayang dalam keluarganya yang tak kalah harmonis. Terlebih dari itu, Cinta juga menguasai seni menulis puisi, dan kepiawaiannya sebagai penyair terbukti lewat puisi “Sahabat” – yang dengan hangat menyambut penonton di awal film. Singkat kata, Cinta digambarkan sebagai sesosok remaja putri SMA yang memiliki seluruh dunia dalam kepalan tangannya.
Akan tetapi dunia kecil Cinta dijungkirbalikan oleh kemunculan Rangga (Nicholas Saputra), yang secara tidak sengaja merebut kemenangan Cinta dalam sebuah lomba menulis puisi. Kejadian ini dengan segera menebarkan bibit-bibit perseteruan, yang mengakibatkan limpahan momentum “anjing dan kucing” di antara mereka. Setelah lusinan konflik berlalu, Rangga dan Cinta mulai menjumpai berbagai persamaan di antara mereka. Layaknya cerita asmara klasik, Rangga dan Cinta mulai mengadopsi hubungan saling ‘benci’ – dalam artian hubungan saling benar-benar cinta.
Meskipun begitu, kehadiran Borne (Fabian Ricardo) - teman sekolah Cinta yang sudah lama menaruh hati padanya – lekas menghambat perjuangan Rangga untuk memenangkan hati Cinta. Bedampingan dengan itu, kebersamaan Rangga dan Cinta juga seringkali menyulut api perselisihan di tengah Cinta dan ke-empat sahabat sejatinya. Situasi memanas ketika Cinta kerap kali harus memilih antara Rangga atau ke-empat sobatnya. Pilihan Cinta hampir menyebabkan Alya – yang sedang didera masalah keluarga – kehilangan nyawanya, dan memutuskan tali persahabatan di antara semua sahabatnya!
Selesai menyorot permasalahan cinta dari segala aspek (lawan jenis, sahabat dan keluarga), AADC menyajikan penutup yang efektif nan sederhana. Dengan menggugah, Cinta, Maura, Milly, Alya dan Carmen bersatu kembali untuk saling mendukung satu sama lain, dan hubungan keluarga Alya juga berangsur membaik. Adegan penting di penghujung film AADC berkisar seputar persatuan mengharukan antara Rangga dan Cinta! Rangga yang hendak pindah ke Amerika, terpaksa harus meninggalkan Cinta tanpa mengutarakan kata-kata perpisahan. Bagaimanapun, sebelum Rangga beranjak menaiki pesawat, Cinta secara mengejutkan muncul dan mengakui perasaannya kepada Rangga. Rangga yang pada akhirnya harus tetap pergi, mencetuskan janji bahwa Ia akan kembali untuk Cinta. Rangga kemudian menyerahkan buku syairnya kepada Cinta untuk menyatakan ketulusannya. Dalam perjalanan pulang Cinta mulai membaca salah satu puisi yang ditulis Rangga tentang dirinya, dan dengan perlahan film pudar dari hadapan penonton.
Tak diragukan lagi, AADC merupakan salah satu film Indonesia berkualitas yang patut dibanggakan. Film yang beberapa minggu lalu genap berumur 10 tahun ini, dengan cermat telah mengangkat sebuah tema yang sangat manusiawi. Terlebih dari itu, film yang digarap oleh Rudy Soedjarwo ini memiliki sangkut paut minim dengan teknologi maupun penemuan terbaru. Ini memperbolehkan AADC untuk tumbuh menjadi suatu karya yang “tahan banting” terhadap era globalisasi. Selain itu, film yang bernaung dibawah rumah produksi Miles ini juga memiliki musik latar yang fenomenal. Semua musik yang terlibat dengan sukses ikut membangun dan menyokong nuansa sebuah adegan. Kesuksesan AADC dalam mengantongi sebuah Piala Citra untuk tata musik terbaik juga serta merta menjadi bukti bahwa, lagu-lagu yang memeriahkan AADC dapat mempengaruhi yang signifikan terhadap suasana hati penonton. Berbeda dengan kebanyakan film lokal dan mancanegara, para penulis skenario AADC memutuskan bahwa tema dan musik yang tepat-pun masih belum memadai. Setelah disetujui oleh Mira Lesmana dan Riri Riza, AADC akhirnya juga mengunakan puisi sebagai salah satu media penyampaian pesan moral. Untuk seluruh, AADC menyertakan 3 puisi yang masing-masing menyentuh ketiga aspek percintaan yang berbeda.
Terlepas dari sederet hal positif yang turut mewarnai film AADC, masih ada beberapa aspek yang dapat ditingkatkan. Contohnya,poster daripada film yang telah memenangkan 3 Piala Citra ini sangatlah labil. Lewat pandangan sekilas orang tidak akan dapat menangkap makna dibalik poster film AADC. Ini dikarenakan proposi, warna dan desain poster yang tidak masuk akal. Jenis huruf yang monoton pada poster juga mengakibatkan hasil akhir yang kurang persuasif, dan justru menimbulkan keraguan. Seharusnya poster AADC dibuat lebih menarik dan tegas lewat, beberapa foto tokoh -bukan hanya Cinta dan Rangga saja. Akan lebih baik pula apabila desain poster dibuat lebih kreatif, agar memancarkan aura kreatif yang lebih menarik. Untuk film ini sendiri, teknik pengeditan masih harus diperbaiki. Ada beberapa adegan pertandingan olahraga dimana pantulan bayangan mikrofon gantung dan kamera masih terlihat, dan pada akhir film tulisan di kaca bandara juga belum dibalik. Kesalahan-kesalahan teknis seperti ini secara langsung mengurangi realitisme dan profesionalisme film.
Secara keseluruhan, tidak ada yang meragukan bahwa AADC adalah sebuah film yang ‘mengena’ sekaligus menghibur. “Ada kemungkinan besar bahwa suatu saat nanti AADC akan diperbaiki dan direproduksi kembali pada tahun 2012,” tutur Mira Lesmana. Dan apabila sutradara memutuskan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang diulas diatas, tidak diragukan lagi, AADC akan disambut dengan meriah oleh berbagai kalangan!



Teks ulasan film Indonesia "GIE"
GIE


Durasi film    : 2 jam 20 menit 57 detik
Sutradara      : Riri Riza
Produser       : Mira Lesmana
Penulis           : Riri Riza
Pemeran       : Nicholas Saputra       sebagai            Soe Hok Gie dewasa
                        Jonathan Mulia         sebagai            Soe Hok Gie remaja
                        Thomas Nawalis        sebagai            Tan Tjin Han dewasa
                        Christian Audy           sebagai            Tan Tjin Han remaja
                        Wulan Guritno          sebagai            Sinta
                        Sita Nursanti             sebagai            Ira
Distributor    : Sinemart Pictures
Anggaran      : Rp. 7-10 miliar
Penghargaan            : Piala Citra Festifal Film Indonesia 2005 kategori “Pemeran pria
                        terbaik” dan“Tata sinematografi terbaik"


Sinopsis Film “GIE”
          GIE (2005) mengisahkan seorang tokoh bernama Soe Hok Gie, mahasiswa Universitas Indonesia yang lebih dikenal sebagai seorang demonstran dan pecinta alam. Diangkat dari buku catatan Soe Hok Gie yang dibukukan pada tahun 1983 dengan judul Catatan Seorang Demonstran namun dalam film ini ditambah sedikit tokoh fiktif agar cerita lebih dramatis. 
Film tersebut berlatar tahun 1965-1969. Pada masa ini terdapat konflik antara militer dengan PKI. Soe Hok Gie dan teman-temannya tidak memihak siapa pun. Meskipun Soe Hok Gie menghormati Soekarno sebagai Founding Father negara Indonesia, Hok Gie begitu membenci pemerintahan Soekarno yang diktator dan menyebabkan hak rakyat yang miskin terinjak-injak. Hok Gie bersama mahasiswa-mahasiswa Universitas Indonesia melakukan demo mahasiswa untuk menurunkan pemerintahan Soekarno, selain melalui demo mahasiswa, Hok Gie juga menulis kritikan-kritikan tajam pada pemerintahan Soekarno di media. Sementara itu Tan Tjin Han sahabat kecil Hok Gie yang pindah rumah saat ia masih remaja telah terlibat dengan PKI saat kembali ke Jakarta. Hok Gie meminta Tan Tjin Han untuk meninggalkan PKI Tetapi Han menolak dan akhirnya ditangkap dan dihukum mati. Sementara Hok Gie dan mahasiswa lain masih berjuang untuk menggulingkan rezim Soekarno. Soe Hok Gie berjuang untuk menegakkan keadilan di negeri ini di antara konflik antar militer dengan PKI, rezim Soekarno yang semakin tak terkendali dan kemelut cintanya pada Ira atau Sinta dengan akhir yang tak terduga.



Teks Ulasan Film “GIE”
          Film “Gie” diangkat dari buku berjudul Catatan Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie. Film ini dibuat pada tahun 2005 dan disutradarai oleh Riri Riza. Film yang mengambil latar tahun 1965-1969 ini menceritakan tentang sosok Soe Hok Gie, seorang pemuda keturunan Cina yang berusaha untuk menggulingkan rezim Presiden Soekarno. Sejak kecil Gie sangat menyenangi sastra sehingga saat dewasa ia sering menuliskan ketidakpuasannya terhadap pemerintah. Ia juga merupakan orang yang selalu berpikir kritis dan mendukung rakyat-rakyat yang tertindas karena kebijakan pemerintah.
          Film “Gie” sendiri sekilas memiliki cerita yang hampir sama dengan film “Dibalik98” karena sama-sama menceritakan demo mahasiswa untuk menjatuhkan pemerintah, perbedaannya adalah dalam film “Gie” lebih menceritakan tentang seorang individu dan berada dalam periode pemerintahan Soekarno, sedangkan film “Dibalik98” lebih menceritakan satu kejadian dan terjadi dalam periode Soeharto.
          Ide penambahan tokoh dalam film “Gie” ini sangat brilian. Selain untuk menambah cerita yang ada dalam buku Catatan Seorang Demonstran, penambahan tokoh ini juga menambah ketertarikan penonton. Seperti penambahan tokoh Tan Tjin Han yang menjadi sahabat sejak kecil Soe Hok Gie, dengan kehadiran Tan Tjin Han kita dapat melihat rasa kesetiakawanan dalam diri Soe Hok Gie. Begitu pula dengan penambahan tokoh Denny yang diperankan oleh Indra Birowo, sahabat Hok Gie sewaktu kuliah. Denny yang memiliki watak lucu dan suka bercanda dapat membuat suasana cair dalam film yang cukup serius ini, membuat kita bisa tertawa dan terhibur ditengah-tengah cerita “berat” yang diangkat film “Gie”. Lalu penambahan tokoh Jaka yang diperankan oleh Donny Alamsyah, ketua senat dan anggota organisasi katolik di Universitas Indonesia. Jaka berwatak keras semakin menambah konflik dalam film dan membuat film ini semakin menarik dengan aktingnya yang dapat membawa perasaan penonton.
          Akting Nicholas Saputra sebagai Soe Hok Gie dalam film ini juga sangat baik sampai ia dianugerahi Piala Citra sebagai pemeran pria terbaik. Bukan hanya karena wajahnya yang dapat menarik perhatian penonton, tetapi penghayatan tokoh yang ia dalami sangat terlihat. Seperti ia benar-benar mengalami kejadian yang Soe Hok Gie alami dan merasakan apa yang Soe Hok Gie rasakan saat itu. Selain akting para pemain yang bagus, film ini diperkaya oleh latar dan properti yang sangat mendukung cerita. Latar yang di buat benar-benar seperti berada pada tahun 1965-1969, padahal film tersebut di buat pada tahun 2005. Properti yang digunakan seperti mobil, pakaian dan peralatan lainnya pun sangat mendukung latar waktu yang di inginkan.
          Dalam film ini pula dapat kita dengar dalam dialog para tokoh menggunakan kata ganti orang lo dan gue. Hal tersebut menunjukkan bahwa bahasa tersebut bukan merupakan bahasa ‘gaul’ yang selama ini salah dicerna oleh masyarakat. Tetapi bahasa tersebut termasuk tradisi bicara orang-orang Jakarta dari dulu karena di adaptasi dari bahasa masyarakat asli Jakarta yaitu Betawi.
          Film dibuka dengan adegan Gie remaja (Jonathan Mulia) yang sedang duduk bersama teman-temannya melihat warga desa sedang menuliskan kata REVOLUSI di dinding menggunakan cat berwarna hitam. Salah satu teman Gie kemudian mendekati kumpulan warga itu dan tidak sengaja menjatuhkan ember berisi cat hitam tersebut. Gie dan teman-temannya yang ketakutan segera berlari dari kejaran warga desa. Adegan berlanjut saat Tan Tjin Han datang ke rumah Gie pada malam hari. Dalam adegan tersebut sudah terlihat rasa kesetiakawanan yang dimiliki Gie, ia bersih keras meminta Tan Tjin Han menginap dirumahnya karena ia tahu jika Tan Tjin Han pulang ke rumahnya sendiri, ia akan dipukuli oleh tantenya.
Selain itu, kita juga dapat melihat kegigihan Soe Hok Gie dalam melawan ketidakadilan. Ia berani melawan gurunya sendiri karena ia merasa gurunya itu melakukan kesalahan. Akibat dari perlawanannya itu nilai ulangan Gie yang semula 8 dikurangi oleh gurunya menjadi 5. Saat Tan Tjin Han bertanya. “Untuk apa semua perlawanan ini?” Hok Gie hanya menjawab dengan santai bahwa dalam memperoleh kemerdekaan sejati ada harga yang harus dibayar. Akting Jonathan Mulia pada scene ini sangat bagus, ia mampu memerankan tokoh Hok Gie yang sedang diliputi kekesalan terhadap gurunya.
Banyak kelebihan yang dapat kita lihat dari film “Gie” tetapi selain kelebihan, film ini pun memiliki kekurangan yang tidak dapat dipungkiri. Film demokrasi tidak dapat menarik perhatian penonton sebesar film romansa, termasuk film “Gie” sendiri yang kurang diminati oleh orang awam terhadap demokrasi. Lagi pula alur cerita film ini terlalu “berat” untuk orang-orang yang kurang mendalami tentang demokrasi Indonesia, maka film ini akan terlihat membosankan dan tidak menarik. Berbeda jika penontonnya adalah orang yang mendalami demokrasi Indonesia pasti akan sangat terhibur dengan adanya film ini karena menceritakan kejadian demokrasi pada masa Soekarno dengan baik dan rinci sehingga tampak “Berat” untuk orang awam.
          Teknologi yang belum begitu canggih pada tahun 2005 membuat film ini memiliki kekurangan pada backsoundnya juga. Seperti ketidakstabilan suara pada film tersebut, saat tokoh berbicara volume suaranya tidak terlalu besar tetapi saat tiba-tiba berubah menjadi backsound volumenya menjadi besar, atau backsound yang terdengar tumpang tindih dengan dialog ataupun backsound yang lain.
          Penambahan adegan-adegan yang tidak diperlukan juga merupakan kekurangan dari film “Gie”. Contohnya saja adegan Denny (Indra Birowo) yang ingin bercanda kepada Gie (Nicholas Saputra) dengan membawa Gie ke sebuah ruangan dan memperkenalkannya dengan seorang wanita penggoda (Happy Salma) dan wanita penggoda itu melakukan hal yang kurang pantas ditonton. Selain penambahan adegan yang kurang berkenan, bahasa yang di gunakan dalam film ini cukup kasar.
          Dalam film ini bukan hanya mengangkat tentang kehidupan demokrasi pada rezim Soekarno, tetapi di warnai juga dengan kisah percintaan antara Gie, Ira dan Sinta. Kisah cinta segitiga dengan akhir yang mengejutkan sekaligus tragis membuat film ini lebih menarik dan penonton tidak merasa bosan dengan alur cerita politik yang diangkat.
          Film ini juga memiliki unsur surprise pada endingnya. Ending yang tidak terduga sama sekali ini membuat kesan akhir yang kuat. Untuk orang-orang yang belum membaca buku Catatan Seorang Demonstran atau mendengar cerita tentang Soe Hok Gie pasti akan terkejut. Soe Hok Gie seorang pecinta alam, ingin mendaki gunung terakhir di Pulau Jawa yang belum ia kunjungi, yaitu gunung Semeru dan akhirnya Gie meninggal disana bersama sahabatnya Herman karena menghirup asap beracun di puncak gunung tersebut. Gie yang meninggal dalam usianya yang masih belia dengan cara yang cukup tragis menyisakan kesan  menyedihkan terhadap perjuangan dan kisah cintanya.
          Film “Gie pada dasarnya mengajarkan kita khususnya para pemuda yang sekaligus generasi penerus bangsa harus berjuang dalam ketidakadilan yang sedang melanda Indonesia. Di zaman sekarang kami yakin masih banyak rakyat yang merasa tak adil akan sikap dari pemimpin negara kita, oleh karena itu kita dapat mencontoh sikap dari Soe Hok Gie agar tercipta kehidupan yang adil, nyaman, tenteram dan sejahtera.
Dari paparan di atas pula kita dapat menyimpulkan bahwa film “Gie” memiliki kekurangan dan kelebihan. Film tersebut membuat kita mengetahui seperti apa jelasnya pemerintahan Soekarno, seperti apa kerasnya perselisihan antara militer dan PKI juga seberapa tangguhnya mahasiswa-mahasiswa yang berdemo meminta keadilan. Film ini mengajarkan kita untuk berani menyuarakan keadilan dan semangat pantang menyerah. Salah satu karya terbaik untuk mempelajari sejarah dari negara tercinta kita, negara Indonesia.